Minggu, 03 Juni 2012

Kesatuan Realitas (Ibn-Arabi)

KESATUAN REALITAS
(Pemikiran Ibn Arabi, 1165-1240 M)
Dikutip dari Buku
WACANA BARU FILSAFAT ISLAM
Penerbit Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2004Bab II/ Metafisika, hal 138-156.
Penulis: A Khudori Soleh



Kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah salah satu gagasan paling kontroversial dalam metafisika, khususnya metafisika mistik. Pemikiran ini dicetuskan oleh Ibn Arabi.

Akan tetapi, menurut Kautsar Azhari Noer,Ibn Arabi sendiri,sebenarnya, secara formal tidak pernah menggunakan kata-kata wahdah al-wujûd dalam tulisan-tulisannya. Orang pertama yang menggunakan istilah ini, meski tidak sebagai istilah teknis dan independen, adalah Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274 M).Hanya saja, ajaran-ajaran Ibn Arabi tentang realitas bisa memberi pemaknaan kearah itu.



A. Riwayat Hidup.
Ibn Arabi, lengkapnya Muhammad ibn `Ali ibn Muhammadibn al-`Arabi al-Thai al-Tamimi,lahir di Mursia, Spanyol bagiantenggara, 17 Ramadan 560 H/ 28 Juli 1165 M, pada masapemerintahan Muhammad ibn Sa`id ibn Mardanisy.MenurutAffifi,Ibn Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang saleh, dimana ayah dan tiga pamannya --dari jalur ibu-- adalahtokoh sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari
Muhy al-Dîn (Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus),karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidangmistik.

Belum ada seorang tokoh muslim yang mencapai posisisebagaimana kedudukannya. Ibn Arabi meninggal di Damaskus--dan di makamkan disana-- tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/Nopember 1240 M, dalam usia 78 tahun. Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Seville, ketika ayahnyamenjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, al-Qur’an, hadis, fiqh, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilanpendidikan dan kecerdasan otaknya --juga kedudukan ayahnya--mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur Seville dalam usia belasan.

Yang perlu dicatat, bahwa kota Saville saat itu,selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan pusatkegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggaldisana. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kayamempercepat pembentukan Ibn Arabi sebagai tokoh sufis yangterpelajar, apalagi ia telah masuk thariqat sejak usia 20 tahun. Selama menetap di Saville, Ibn Arabi muda seringmelakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untukberguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupunsarjana terkemuka.

Salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126-1198 M), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof Paripatetik ini dalam perdebatan dan tukar fikiran;sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. Juga, menurut Kautsar,menujukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisisme dan filsafat dalam kesadaran metafisis Ibn Arabi. Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan disokong olehpemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn Arabi adalah seorangmistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisamemfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatupandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihatdalam gagasannya tentang wahdat al-wujud.

Selanjutnya, pengembaraannya semakin luas dan mulaikeluar dari semenanjung Iberia menuju Tunis (1193 M) untukberguru pada Ibn Qusi; tokoh sufi yang melakukanpemberontakan pada dinasti Murabbitin.
Kemudian pergi ke Fezdan tinggal disana selama 4 tahun, terus ke Marrakesy, Almaria,Bugia dan kembali ke Tunis (1202 M), setelah pada tahun 1199M, pulang ke Kordova guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd.Selama pengembaraan ini, ia sempat menelorkan beberapakarya tulis, seperti Mawâqi’ al-Nujûm, Insya al-Dawair dan lainnya. Akan tetapi, situasi religio-politis tidak mengizinkan IbnArabi tinggal lama di Spanyol ataupun di Afrika utara, sehinggaia melarikan diri ke Makkah (1201 M), karena --seperti tokoh sufi lainnya-- dituduh menggerakkan makar terhadap pemerintah. Di Makkah sekitar 3 tahun, Ibn Arabi mempergunakan waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Disini ia mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya,
al-Futuhât al-Makkiyah,disamping menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, ia kembali mengembara ke berbagaikota; Madinah, Yerusalem, Baghdad, Masul, Konya, Damascus,Hebron, Kairo dan kembali ke Makkah (1207 M) karena tidakaman di Mesir. Di tengah perjalanan ini, untuk ketiga kalinya ia diangkat sebagai murid Khidir untuk menerima rahasia-rahasia Ilahiyah. Setahun di Makkah, Ibn Arabi berkunjung keAsia kecil melalui Aleppo dan Konya, kemudian ke Armenia danBaghdad, bertemu Syihabuddin Suhrawardi al-Zanzani (w.630/1233 ), seorang tokoh sufi, penulis kitab Awârif al-Ma`ârif.

Akhirnya, tahun 1224 M, Ibn Arabi menetap di Damascus,memenuhi permintaan khalifah al-Malik al-`Adil (1227 M).Kecuali kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi tidak lagi melakukan pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis dan mengajar. Disini ia menyelesaikan kitab monumentalnya,
al-Futûhat al-Makkiyah,dan menulis kitab lain yang terkenal;
Fushûsh al-Hikam,disamping kitab-kitab yang lain. Kedekatannya dengan pemerintah menyebabkan ajarannya mudah dan cepat di terima di masyarakat.

Ibn Arabi termasuk tokoh yang sangat produktif. Menurut Osman Yahia,Ibn Arabi meninggalkan tidak kurang dari 700 karya tulis, tetapi hanya 400 buah yang masih ada; meliputi metafisika, kosmologi, psikologi, tafsir dan hampir setiap cabang keilmuan, yang semua didekati dengan tujuan menjelaskan makna esoterisnya. Karyanya yang terbesar adalah al-Futûhât al-Makiyah, yang terdiri atas 37 jilid, 560 bab, 18.500 halaman dalam edisi Osman Yahio. Yang lain adalah Fushûsh al-Hikam,yang menurutnya diterima dari Rasul saw agar disebarkan kepada manusia. Meski karya ini relatif pendek, tapi paling banyak dikaji dan diberi komentar, karena paling sulit, paling berpengaruh dan paling masyhur. Tidak kurang dari 100 buku ditulis untuk mengomentari Fushûsh al-Hikam tersebut.



B. Antara Mistik dan Filsafat.
Ibn Arabi adalah tokoh mistik yang menuliskanpengalaman ruhaninya lewat cara fikir filsafat. Mistik (sufisme)adalah sebuah pencarian kebenaran lewat jalan experience(penghayatan) dengan atas dasar cinta. Perbedaan sufisme dengan filsafat, menurut Mutahhari,
pertama
, filsafat meminjakkan argumennya pada postulat-postulatnya,sementara mistik mendasarkan argumennya pada visi dan intuisi serta kemungkinan mengemukakan berbagai teorinyasecara teoritis.
Kedua
, dalam mencapai tujuannya, filsafatmenggunakan rasio dan intelektualnya, sementara mistikmenggunakan kalbu dan jiwa suci serta upaya spiritual terusmenerus. Ini di lakukan karena rasio atau intelek dianggapkurang memadai untuk menggapai kebenaran hakiki.
Ketiga,
tujuan dalam filsafat adalah memahami alam semesta. Filosof ingin mendapat gambaran tentang alam semesta yang benar, sempurna, dan menyeluruh.

Di mata filsafat, capaian tertinggi manusia adalah mampu memahami dunia sedemikian rupa sehingga --dalam eksistensi dirinya--eksistensi dunia inipun tegak dan dia sendiri menjadi dunia.Karena itu, filsafat sering didefinisikan sebagai, ‘dunia mental manusia yang menjadi sama dengan dunia yang ada’.

Sementara itu, dalam mistik, persoalan intelek atau rasio tidak begitu menarik. Seorang mistik ingin menjangkau hakekat eksistensi, Allah sendiri. Ia ingin berjumpa dengan hakekat ini dan mengamatinya. Menurut kaum mistik, capaian tertinggi manusia adalah kembali kepada asal-usulnya guna menghindari jarak antara dirinya dengan Tuhan serta menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan untuk berusaha hidup abadi dalam Diri Tuhan.

Dalam pandangan kaum sufisme, termasuk Ibn Arabi,kebenaran ini terdiri atas tiga bagian, indera, rasio dan intuisi.

Ibn Arabi mengakui bahwa indera dan rasio adalah sarana penting untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi, apa yang dicapai indera dan rasio masih sangat terbatas. Indera hanya mampu mengkaji sejauh apa yang tampak, yang kasat mata,yang itu sangat rentan terhadap kesalahan. Begitu pula rasio,meski dengan kekuatannya mampu menjangkau rahasia yang ada dibalik alam indera, ia masih belum --atau tidak-mampu menjangkau yang transenden. Kekuatan indera maupun rasio baru pada tahap mendekati yang hakiki, belum yang mencapai hakiki.

Atau menurut istilah Henry Bersogn, baru tahap‘pengetahuan mengenai’ (knowledge about) belum‘pengetahuan tentang’(knowledge of ). ‘Pengetahuan tentang’adalah pengetahuan diskursif, pengetahuan simbol yang diperoleh lewat perantara; indera atau rasio. ‘Pengetahuan tentang’ adalah pengetahuan langsung, pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung.

Karena itu, bagi Ibn Arabi yang lebih sebagai sufis, tidak ada jalan lain untuk bisa memahami realitas wujud yang hakiki kecuali menyelami langsung lewat penghayatan (experence)dalam mistik. Pengetahuan intuitif yang di peroleh lewat experence inilah pengetahuan yang sebenarnya, pengetahuan yang paling unggul dan pengetahuan yang terpercaya.Untuk mampu menangkap, menyelami serta memahami rahasia dan hakekat wujud diatas, sebelumnya, seseorang sefistik harus membersihkan jiwanya (qalb) untuk kemudian menghadap pada Tuhan dengan penuh cinta dan rindu.
Ibn Arabi menetapkan lima tahapan secara gradual untuk pembersihan hati ini.
(1) Membersihkan jiwa dengan menjauhkan diri dari segala perilaku dosa dan kemaksiatan disamping semakin rajindalam melakukan kebajikan;
(2) Meninggalkan seluruh --pengaruh-- dunia; menghentikan pemandangan terhadap aspekfenomena dunia dan kesadaran terhadap aspek nyata yangmenjadi dasar fenomenanya;
(3) Menjauhkan diri dari atribut-atribut dan kaulitas-kualitas wujud kontingen dengan kesadaranbahwa semua itu adalah kepunyaan Allah semata;
(4)Menghilangkan semua hal yang ‘selain Allah’, tetapi tidak‘menghilangkan’ tindakan itu sendiri. Disini sang mistiskehilangan --atau menghilangkan-- kesadaran dirinya sendiri sebagai orang yang memandang. Tuhan sendirilah yangmemandang sekaligus dipandang;
(5) Melepaskan atribut-atribut Tuhan serta ‘hubungan-hubungan’ dari atribut-atribut tersebut.Memandang Tuhan lebih sebagai essensi daripada ‘SebabPertama’ dari realitas semesta. Jika seseorang telah mencapai derajat ittihad,kesatuan diri dengan Tuhan, ia akan menerima ilmu langsung secara vertikal, dalam bentuk ilham.Pengetahuannya datang langsung lewat pancaran Tuhan (emanasi) yang tampak dalam batinnya. Begitu pula yang terjadi pada Ibn Arabi, sehingga rujukan-rujukan dari tokoh sebelumnya hanya digunakan semata demi untuk menerangkan dan mengibaratkan pengalaman-pengalaman batinnya,bukan rujukan yang sesungguhnya,yang dalam hal ini Ibn Arabi sendiri tidak pernah terpaku pada salah satu tokoh filsafat. Menurut Husain Nasr,pemaparan IbnArab banyak mengikuti Al-Hallaj (858-913 M) dan filsafat IbnSina (980-1037 M). Juga mengikuti teori-teori Noe-Epidoclesyang dikembangkan oleh Ibn Massarah (w. 923 M), Neo-Pithagoras yang di kembangkan kelompok Ikwan as-Shafamaupun Neo-Platonisme. Sedemikian, sehingga menurut Affifi,pemikiran metafisika Ibn Arabi tampak tidak beraturan, tidakkonsisten dan banyak mengambil pikiran-pikiran filsafatsebelumnya.


C. Essensi dan Eksistensi.
Menurut Ibn Arabi, eksistensi adalah ‘wujud’ dari essensi.
Sesuatu bisa dianggap wujud atau ada jika termanifestasikan dalam apa yang disebut ‘tahapan wujud’ (marâthib al-wujûd),yang terdiri atas 4 hal;
(1) eksis dalam wujud sesuatu (wujûd al-syai’ fî ainih),
(2) eksis dalam pikiran atau konsepsi (wujûd al-syai’ fî al-ilm),
(3) eksis dalam ucapan (wujûd al-syai’ fî al-alfazh),
(4) eksis dalam tulisan (wujûd al-syai’ fî ruqûm).

Segala sesuatu dianggap wujud jika ada didalam salah satu empat‘tahapan’ tersebut. Sesuatu yang tidak ada diantaranya tidakbisa dianggap sebagai wujud, dan karena itu tidak bisa dibicarakan.
Selanjutnya, apa yang wujud itu, yang berarti punyaeksistensi, dalam perspektif ontologis Ibn Arabi, terbagi dalamdua bagian; wujud mutlak dan wujud nisbi. Wujud mutlak adalahsuatu sesuatu yang eksis dengan dirinya sendiri dan untukdirinya sendiri, dan itu adalah Tuhan. Wujud nisbi adalah sesuatuyang eksistensinya terjadi oleh dan untuk wujud lain (wujûd bial-ghair). Wujud nisbi ini terbagi dalam dua bagian; wujud bebasdan wujud ‘bergantung’, yang disebut kedua ini berupa atribut-atribut, kejadian-kejadian dan hubungan-hubungan yang bersifatspesial dan temporal. Sementara itu, wujud nisbi bebas berupa substansi-substansi, dan ia terbagi dalam dua bagian; materialdan spiritual.
Wujud_______________________________ NisbiMutlak________________________________ BebasBergantung(substansi-substansi)(Atribut-atribut, kejadian-kejadian, dan hubungan-hubungan yang bersifatspesial dan temporal)_______________________ Material Spiritual

Namun, yang perlu dicatat, apa yang dianggap wujud nisbidiatas tidak sepenuhnya ‘entitas temporal’ melainkan juga‘entitas permanen’ (al-a`yân al-tsâbitah) sebagaimana wujud mutlak. Dalam pandangan ibn Arabi, semua yang ada dalamsemesta ini, dalam semua keadaannya, telah ada dan persis seperti apa yang ada dalam ilmu Tuhan, sedang ilmu Tuhan sendiri adalah al-a`yân al-tsâbitah. Setiap urusan dan apa yangada dalam semesta tidak pernah keluar dari rencana yang telahditetapkan Tuhan sejak permulaan dalam ilmu-Nya.

Entitas-entitas permanen (al-A`yân al-tsâbitah) diatas tidak pernah meninggalkan kepermanenanya dan ketidak-beruhannya, karena entitas-entitas tersebut selamanya adadalam ilmu Tuhan, ada secara kekal dalam ‘kebesarn-Nya’.Namun, segala yang tampak riil dalam semesta ini juga tidaklain adalah aktualisasi ‘entitas-entitas permanen’. Karena itu,pada satu sisi, entitas-entitas yang ada dalam ilmu Tuhan tidakberbeda dengan entitas-entitas yang tampak dalam semesta,sebab apa yang terjadi dalam semesta adalah persis seperti apayang ada dalam ilmu-Nya. Akan tetapi, pada sisi yang lain,entitas-entitas dalam ilmu Tuhan berbeda dengan entitassemesta, karena yang pertama tidak berwujud konkrit, bebasdari ruang dan waktu, sedang yang keduany berwujud konkrit,dan terikat dengan ruang dan waktu. Yang pertama bersifatpotensial, ‘cetak biru’, sementara yang kedua bersifat aktual,konkrit.


Meski demikian, menurut Kautsar,dalam strukturontologis Ibn Arabi, ‘entitas-entitas permanen’ tidak juga samadan sederajat dengan Dzat Tuhan, tetapi ada ‘dibawahnya’. Tepatnya, ia menempati posisi tengah antara Tuhan dan alam,antara keabsolutan-Nya dan semesta, sehingga ia bersifat ‘aktif’sekaligus ‘pasif’. Aktif dalam hubungannya dengan apa yanglebih rendah darinya, yakni alam semesta, dan aktif dalamhubungannya dengan yang lebih tinggi, yakni diri Tuhan. Tarikmenarik keduanya terjadi dalam apa yang disebut sebagaiproses penampakan diri (tajalli) Tuhan, yang berarti sama dengan proses penciptaan semesta dalam konsep emanasi.Dengan posisi tengah antara al-Haqq (Tuhan) dan al-khalq
(ciptaan), entitas-entitas permanen diatas adalah qadîm sekaligus
hadîts. Qadîm karena ia adalah objek ilmu Tuhan sejakazali, ada dalam dan bersama ilmu Tuhan tanpa ada permulaandalam waktu. Tetapi qadîm
-nya tidak sama dengan qidam Tuhan,karena qadîm-nya entitas permanen berasal dari dan tergantung pada qidam Tuhan.

Sebaliknya, entitas permanen dianggap hadîts karena ia muncul ‘kemudian’, mewujud dan menampakkan diri dalam alam nyata, yang berkaitan denganruang dan waktu. Jalan tengah dan ‘sistem mendua’ (ambiguis) tersebut juga berlaku pada soal perbuatan manusia, bahwa perbuatanmanusia adalah jabariyah sekaligus qadariyah. Yakni, bahwa‘perbuatan manusia diciptakan oleh manusia, tetapi tidak oleh manusia’ atau ‘perbuatan manusia diciptakan bukan oleh Tuhantetapi oleh Tuhan’. Seperti dikatakan Kautsar, ambiguitas dan paradoksal-sikalitas radikal adalah ciri khas sistem berfikir Ibn Arabi.


D. Wahdat al-Wujûd.
Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktuasasi entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu Tuhan, maka bagi Ibn Arabi, seluruh realitas yang ada ini, meski tampak beragam,adalah hanya satu, yakni Tuhan sebagai satu-satunya realitasdan realitas yang sesungguhnya. Apapun yang selain Dia tidakbisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya. Jika demikian, bagaimana kedudukan ontologis
al-khalq (alam ciptaan)? Apakah ia identik dengan Tuhan, atau alam ini tidakmempunyai wujud sama sekali? Kenyataannya alam dan kita ada secara konkrit.Menghadapi persoalan tersebut, seperti sistem berfikirnyayang paradoksal, jawaban Ibn Arabi bersifat ambiguis, bahwaalam adalah Tuhan (al-Haqq) sekaligus bukan Tuhan, ataumenurut istilah Ibn Arabi sendiri, alam adalah ‘Dia dan bukanDia’ (Huwa lâ Huwa).

Bagi Ibn Arabi, alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, dan dengan demikian, segala sesuatu dan segala yang ada didalamnya adalah entifikasi-Nya.Karena itu, Tuhan dan semesta, keduanya tidak bisa difahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksiontologis. Kontradiksi-kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak sebagaimana uraian al-Qur`an, bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi (al-Bathîn) sekaligus Yang Tampak (al-dzahîr), Yang Esa (al-Wahîd)sekaligus Yang Banyak(al-Katsîr),Yang Terdahulu(al-Qadîm)sekaligus Yang Baru(al-Hadîts), Yang Ada(al-Wujûd) sekaligus Yang Tiada (al-`Adam).

Dalam pandangan Ibn Arabi, realitas adalah satu tetapimempunyai sifat yang berbeda; sifat ketuhanan sekaligus sifatkemakhlukan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaliguspermanen, eksistensi sekaligus non-eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segalasesuatu yang ada di alam. Disini Ibn Arabi menggunakan prinsip al-Jam’u bayn al-Addâd (kesatuan diantara pertentangan-pertentangan), atau yang dalam filsafat Barat disebut coincidentia oppositorum.

Untuk menjelaskan hubungan ontologis Tuhan dan semesta tersebut, Ibn Arabi, antara lain, menggunakan simbolcermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. Simbol ini, pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yaknibahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah‘harta simpanan’ (kanz makhfi) yang tidak bisa dikenali kecualilewat alam, sesuai dengan hadis Rasul yang menyatakan hal itu.

Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang Satu dengan yangbanyak dan beragam dalam semesta. Yakni bahwa Tuhan yangbercermin adalah satu, tetapi gambar-Nya amat banyak danberagam sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut. Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia, sama sekali bukanselainnya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.Penggambaran diatas sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybîh dan tanzîh yang digunakan Ibn Arabi.

Dari segi tasybîh, Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lainadalah perwujudan dan aktualiasi sifat-sifat-Nya; dari segitanzîh Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang danwaktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas,Ibn Arabi menyatakan ‘Huwa la Huwa’ (Dia bukan Dia --yang kitabayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu (ittihad) dengan-Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Iahanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan‘bayangan-Nya’, bukan dengan Zat-Nya. Tuhan terlalu tinggiuntuk dicapai. Segala uraian tentang-Nya, adalah kebohongan,pengkerdilan dan pembatasan.


F. Penutup.
Dari segi epistemologis, tampaknya ada pergeseran atauperkembangan pada sistem pemikiran Ibn Arabi. Awalnya cenderung paripathetik, Aristotelian, ketika menyatakan bahwa eksistensi adalah ‘patokan’ segala sesuatu. Kemudian berubah menjadi Platonis, dengan pendapatnya bahwa wujud yang sebenarnya bukan pada sesuatu yang tampak nyata dan konkritini tetapi pada yang transenden dan itu hanya satu, yakni Tuhan. Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis danAristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang transenden dan yang nyata (wahdat al-wujûd), meski dengan pemikiran yang khas Arabian.Pemikiran kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah gagasan orisinal Ibn Arabi. Meski dasar-dasar gagasan inidiambil dari pemikiran ittihâd (penyatuan manusia dengan Tuhan) al-Hallaj (858-913 M), tetapi ia berbeda dengannya. (1)Dalam teori al-Hallaj, persoalan yang ditekankan hanyahubungan antara Tuhan (al-Lâhût) dan manusia(al-Nâsût),bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan sifat ketuhanan hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain; dalam teori Ibn Arabi menjadi lebih luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq)dan semesta (al-Khalq).

(2) Dalam teori al-Hallaj masih ada dualisme manusia dan Tuhan, dalam Ibn Arabi dualisme tersebuttidak ada, kecuali dualisme semu, nisbi; yang ada hanya keesaan.Yakni keesaan dengan dua wajah seperti satu matauang. Dari satu aspek, realitas itu adalah Yang Benar, Pelaku danPencipta; dari aspek lain, ia adalah ciptaan, penerima dan makhluk.
Konsep ini selangkah lebih ‘berani’ dibanding gagasan emanasi al-Farabi atau yang lain, karena dalam emanasi masihada jarak dan perbedaan antara Tuhan dan makhluk, baik darikualitas maupun kuantitas; sementara dalam wahdat al-wujûd
tidak ada lagi jarak diantara keduanya. Namun, itu bukan berarti semesta identik dengan Tuhan. Alam tidak lain hanya perwujudan dari asma-asma-Nya sebagaimana diikrarkan dalam syahadah Lailaha illallah.
Yakni pengakuan bahwa mahluk-Nyabukanlah Tuhan tetapi keberadaan-Nya juga tidak tersamai olehselain-Nya, sehingga tidak satupun wujud yang mandiri danlepas dari-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar