Senin, 21 Januari 2013
Prophet Adam
Tinjauan Pustaka
Analisis teks menggunakan aspek aspek Sosiolinguistik
ngaso dhisit
Minggu, 10 Juni 2012
Republik Dablongan Radio
RADIO REPUBLIK DABLONGAN
Ndablong itu jujur, ceplas ceplos tapi tahu aturan dan mendidik. memandang sebuah hal dari sudut pandang yang berbeda. Sadar akan keberadaan diri dan mengetahui potensi dari diri, tahu dan menghargai sejarah
Kami dirikan repoeblik kami sendiri Repoeblik Kreatif, Repoeblik Cerdas,Repoeblik Makmur. Kekuatan suatu bangsa bukan hanya di tentukan oleh pemerintah yang kuat namun kekuatan dan kesadaran masyarakat untuk turut serta mendukung, mengkritik dan mengontrol berbagai hal baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri, dengan Karakter Ndablong ini
"http://republikdablongan.listen2myradio.com/"
Minggu, 03 Juni 2012
Kata Kata Hanyalah Bayangan Realitas (QS.86.9)
Gambaran mental dari segala sesuatu yang hinggap di kepala manusia akan
membawanya kedalam hal itu. Gambaran tentang "taman" akan membawa
manusia menuju ke sebuah taman. Gambaran tentang "Toko", akan membawa
manusia menuju sebuah toko. tapi terdapat suatu muslihat tersembunyi di
dalam gambaran mental tersebut.
Seringkali kita mengalami ketika kita pergi ke suatu tempat, tiba tiba saja kita mendapati bahwa tempat yang kita tuju tersebut tidaklah seperti yang ada dalam gambaran kita, dalam citraan mental kita. ketika mendapati kenyataan itu, kita akan merasa kecewa dan berkata, "aku pikir tempat ini sebagus yang ku bayangkan, tapi ternyata tidak seindah gambarannya."
Citraan-citraan atau gambaran-gambaran mental itu seperti kain kafan, seseorang dapat bersembunyi di balik kain kafan. ketika citra di hilangkan, dan kenyataan muncul tanpa diiringi citraan mental, maka terjadilah proses penyadaran kembali. kita seakan kembali terbangun dari tidur kita. Ketika merasa kecewa, kenyataan yang dapat mempesonakanmu tiada lain adalah kenyataan itu sendiri. Hari ketika segala pikiran dan perbuatan yang tersembunyi akan diuji (QS.86.9)
Seringkali kita mengalami ketika kita pergi ke suatu tempat, tiba tiba saja kita mendapati bahwa tempat yang kita tuju tersebut tidaklah seperti yang ada dalam gambaran kita, dalam citraan mental kita. ketika mendapati kenyataan itu, kita akan merasa kecewa dan berkata, "aku pikir tempat ini sebagus yang ku bayangkan, tapi ternyata tidak seindah gambarannya."
Citraan-citraan atau gambaran-gambaran mental itu seperti kain kafan, seseorang dapat bersembunyi di balik kain kafan. ketika citra di hilangkan, dan kenyataan muncul tanpa diiringi citraan mental, maka terjadilah proses penyadaran kembali. kita seakan kembali terbangun dari tidur kita. Ketika merasa kecewa, kenyataan yang dapat mempesonakanmu tiada lain adalah kenyataan itu sendiri. Hari ketika segala pikiran dan perbuatan yang tersembunyi akan diuji (QS.86.9)
Salahudin Al Ayubi “Singa Padang Pasir”
Salahudin Al Ayubi atau sering juga di sebut sebagai “Saladin” di dunia
barat, merupakan panglima perang Muslim yang dikagumi kepiawaian
berperang serta keshalihannya baik kepada kawan dan lawan-lawannya.
Keberanian dan kepahlawanannya tercatat sejarah di kancah perang salib.
Juli 1192 sepasukan muslim dalam perang salib menyerang tenda-tenda pasukan salib diluar benteng kota Jaffa, termasuk didalamnya ada tenda Raja Inggris, Richard I. Raja Richard pun menyongsong serangan pasukan muslim dengan berjalan kaki bersama para prajuritnya. Perbandingan pasukan muslim dengan Kristen adalah 4:1. Salahudin Al Ayubi yang melihat Richard dalam kondisi seperti itu berkata kepada saudaranya : ” Bagaimana mungkin seorang raja berjalan kaki bersama prajuritnya? Pergilah ambil kuda arab ini dan berikan kepadanya, seorang laki-laki sehebat dia tidak seharusnya berada di tempat ini dengan berjalan kaki “. Fragmen diatas dicatat sebagai salah satu karakter yang pemurah dari Salahudin, bahkan kepada musuhnya sekalipun. Walalupun sedang diatas angin tetap berlaku adil dan menghormati lawan-lawannya.
Sejarah Hidup Salahudin
Salahudin lahir disebuah kastil di Takreet tepi sungai Tigris (daerah Irak) tahun 1137 Masehi atau 532 Hijriyah. Bernama asli Salah al-Din Yusuf bin Ayub. Ayahnya Najm ad-Din masih keturunan suku Kurdi dan menjadi pengelola kastil itu. Setelah kelahiran Salahudin keluarga Najm-ad-Din bertolak ke Mosul, akibat ada konflik didalam kastil. Di Mosul , keluarga Najm bertemu dan membantu Zangi, seorang penguasa arab yang mencoba menyatukan daerah-daerah muslim yang terpecah menjadi beberapa kerajaan seperti Suriah, Antiokhia, Aleppo, Tripoli, Horns, Yarussalem, Damaskus.
Zangi berhasil menguasai Suriah selanjutnya Zangi bersiap untuk menghadapi serbuan tentara Salib dari Eropa yang telah mulai memasuki Palestina. Zangi bersama saudaranya; Nuruddin menjadi mentor bagi Salahudin kecil yang mulai tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarga ksatria. Dari kecil sudah mulai terlihat karakter kuat Salahudin yang rendah hati, santu serta penuh belas kasih. Zangi meninggal digantikan Nuruddin. Paman Salahudin, Shirkuh kemudian ditunjuk untuk menaklukan Mesir yang saat itu sedang dikuasai dinasti Fatimiyah. Setelah penyerangan kelima kali, tahun 1189 Mesir dapat dikuasai. Shirkuh kemudian meninggal. Selanjutnya Salahudin diangkat oleh Nuruddin menjadi pengganti Shirkuh.
Salahudin yang masih muda dan dinggap “hijau” ternyata mampu melakukan mobilisasi dan reorganisasi pasukan dan perekonomian di Mesir, terutama untuk menghadapi kemungkinan serbuan balatentara Salib. Berkali-kali serangan pasukan Salib ke Mesir dapat Salahudin patahkan. Akan tetapi keberhasilan Salahudin dalam memimpin mesir mengakibatkan Nuruddin merasa khawatir tersaingi. Akibatnya hubungan mereka memburuk. Tahun 1175 Nuruddin mengirimkan pasukan untuk menaklukan Mesir. Tetapi Nuruddin meninggal saat armadanya sedang dalam perjalanan. Akhirnya penyerangan dibatalkan. Tampuk kekuasaan diserahkan kepada putranya yang masih sangat muda. Salahudin berangkat ke Damaskus untuk mengucapkan bela sungkawa. Kedatangannya banyak disambut dan dielu-elukan. Salahudin yang santun berniat untuk menyerahkan kekuasaan kepada raja yang baru dan masih belia ini. Pada tahun itu juga raja muda ini sakit dan meninggal. Posisinya digantikan oleh Salahudin yang diangkat menjadi pemimpin kekhalifahan Suriah dan Mesir.
Salahudin dan Perang Salib
Saat Salahudin berkuasa, perang salib sedang berjalan dalam fase kedua dengan dikuasainya Yerussalem oleh pasukan Salib. Namun pasukan Salib tidak mampu menaklukan Damaskus dan Kairo. Saat itu terjadi gencatan senjata antara Salahudin dengan Raja Yerussalem dari pasukan Salib, Guy de Lusignan.
Perang salib yang disebut-sebut sebagai fase ketiga dipicu oleh penyerangan pasukan Salib terhadap rombongan peziarah muslim dari Damaskus. Penyerangan ini dipimpin oleh Reginald de Chattilon penguasa kastil di Kerak yang merupakan bagian dari Kerajaan Yerussalem. Seluruh rombongan kafilah ini dibantai termasuk saudara perempuan Salahudin. Insiden ini menghancurkan kesepakatan gencatan senjata antara Damaskus dan Yerussalem. Maret 1187 setelah bulan suci Ramadhan, Salahudin menyerukan Jihad Qittal. Pasukan muslimin bergerak menaklukan benteng-benteng pasukan Salib. Puncak kegemilangan Salahudin terjadi di Perang Hattin.
Perang Hattin terjadi di bulan Juli yang kering. Pasukan muslim dengan jumlah 25000 orang mengepung tentara salib didaerah Hattin yang menyerupai tanduk. Pasukan muslim terdiri atas 12000 orang pasukan berkuda (kavaleri) sisanya adalah pasukan jalan kaki (infanteri). Kavaleri pasukan muslim menunggangi kuda yaman yang gesit dengan pakaian dari katun ringan (kazaghand) untuk meminimalisir panas terik di padang pasir. Mereka terorganisir dengan baik, berkomunikasi dengan bahasa arab. Pasukan dibagi menjadi beberapa skuadron kecil dengan menggunakan taktik hit and run.
Pasukan salib terdiri atas tiga bagian. Bagian depan pasukan adalah pasukan Hospitaler, bagian tengah adalah batalyon kerajaan yang dipimpin Guy de Lusignan yang juga membawa Salib besar sebagai lambang kerajaan. Bagian belakang adalah pasukan ordo Knight Templar yang dipimpin Balian dari Ibelin. Bahasa yang mereka gunakan bercampur antara bahasa Inggris, Perancis dan beberapa bahasa eropa lainnya. Seperti umumnya tentara Eropa mereka menggunakan baju zirah dari besi yang berat, yang sebetulnya tidak cocok digunakan di perang padang pasir.
Salahudin memanfaatkan celah-celah ini. Malam harinya pasukan muslimin membakar rumput kering disekeliling pasukan Salib yang sudah sangat kepanasan dan kehausan. Besok paginya Salahudin membagikan anak panah tambahan pada pasukan kavalerinya untuk membabat habis kuda tunggangan musuh. Tanpa kuda dan payah kepanasan, pasukan salib menjadi jauh berkurang kekuatannya. Saat peperangan berlangsung dengan kondisi suhu yang panas hampir semua pasukan salib tewas. Raja Yerussalem Guy de Lusignan berhasil ditawan sedangkan Reginald de Chattilon yang pernah membantai khalifah kaum muslimin langsung dipancung. Kepada Raja Guy, Salahudin memperlakukan dengan baik dan dibebaskan dengan tebusan beberapa tahun kemudian.
Menuju Yerussalem
Dari Hattin, Salahudin bergerak menuju kota-kota Acre, Beirut dan Sidon untuk dibebaskan. Selanjutnya Salahudin bergerak menuju Yerussalem. Dalam pembebasan kota-kota ataupun benteng Salahudin selalu mengutamakan jalur diplomasi dan penyerahan daripada langsung melakukan penyerbuan militer. Pasukan Salahudin mengepung Kota Yerussalem , pasukan salib di Yerussalem dipimpin oleh Balian dari Obelin. Empat hari kemudian Salahudin menerima penawaran menyerah dari Balian. Yerussalem diserahkan ketangan kaum muslimin. Salahuddin menjamin kebebasan dan keamanan kaum Kristen dan Yahudi. Fragmen ini di abadikan dalam film “Kingdom Of Heaven” besutan sutradara Ridley Scott. Tanggal 27 Rajab 583 Hijriyah atau bertepatan dengan Isra Mi’raj Rasulullah SAW, Salahudin memasuki kota Yerussalem.
Ada suatu percakapan dalam film Kingdom Of Heaven yang menarik bagi penulis, yang kurang lebih seperti ini :
Balian : ”Saya serahkan kunci kota Yerussalem kepada anda, tapi anda harus dapat bisa menjamin keselamatan kami, orang-orang non-muslim”
Salahudin: ”Saya akan jamin keselamatan anda”
Balian : ” Apa yang dapat menjamin kami bahwa anda akan menepati janji anda ?” (Balian masih ingat saat-saat Yerussalem jatuh ke tangan pasukan Salib, banyak penduduk sipil muslim yang dibantai sampai kota Yerussalem sesak oleh mayat, dan Balian khawatir Salahudin melakukan hal yang sama )
Salahudin : ” (diam sejenak..menatap tajam Balian) Saya akan menepati janji, Insya Allah ..saya adalah Salahudin saya bukan seperti orang-orang anda”.
…………………………………………………………
Di Yerussalem, Salahudin kembali menampilkan kebijakan dan sikap yang adil sebagai pemimpin yang shalih. Mesjid Al-Aqsa dan Mesjid Umar bin Khattab dibersihkan tetapi untuk Gereja Makam Suci tetap dibuka serta umat Kristiani diberikan kebebasan untuk beribadah didalamnya. Salahudin berkata :” Muslim yang baik harus memuliakan tempat ibadah agama lain”. Sangat kontras dengan yang dilakukan para pasukan Salib di awal penaklukan kota Yerussalem (awal perang salib), sejarah mencatat kota Yerussalem digenangi darah dan mayat dari penduduk muslimin yang dibantai. Sikap Salahudin yang pemaaf dan murah hati disertai ketegasan adalah contoh kebaikan bagi seluruh alam yang diperintahkan ajaran Islam.
Salahudin Al-Ayubi tidak tinggal di istana megah. Ia justru tinggal di mesjid kecil bernama Al-Khanagah di Dolorossa. Ruangan yang dimilikinya luasnya hanya bisa menampung kurang dari 6 orang.Walaupun sebagai raja besar dan pemenang perang, Salahudin sangat menjunjung tinggi kesederhanaan dan menjauhi kemewahan serta korupsi.
Salahudin berhasil mempertahankan Yerussalem dari serangan musuh besarnya Richard The Lion Heart, Raja Inggris. Richard menyerang dan mengepung Yerussalem Desember 1191 dan Juli 1192. Namun penyerangan-penyerangannya dapat digagalkan oleh Salahudin. Kepada musuhnya pun Salahudin berlaku penuh murah hati. Saat Richard sakit dan terluka, Salahudin menghentikan pertempuran serta mengirimkan hadiah serta tim pengobatan kepada Richard. Richard pun kembali ke Inggris tanpa berhasil mengalahkan Salahudin.
Sepanjang sejarah Yerussalem sebagai kota suci bagi tiga agama, sejak ditaklukan Salahudin, Yerussalem belum pernah jatuh ketangan pihak lain. Baru setelah Perang Dunia I, Yerussalem jatuh ketangan Inggris yang kemudian diserahkan ke tangan Israel.
Semasa hidupnya Salahudin lebih banyak tinggal di barak militer bersama para prajuritnya dibandingkan hidup dalam lingkungan istana. Salahudin wafat 4 Maret 1193 di Damaskus. Para pengurus jenazah sempat terkaget-kaget karena ternyata Salahudin tidak memiliki harta. Ia hanya memiliki selembar kain kafan yang selalu di bawanya dalam setiap perjalanan dan uang senilai 66 dirham nasirian (mata uang Suriah waktu itu).
Sampai sekarang Salahudin Al-Ayubi tetap dikenang sebagai pahlawan besar yang penuh sikap murah hati.
Disadur dari GREAT COMMANDERS OF THE BATTLE FIELDS
http://wagenugraha.wordpress.com/2008/10/12/salahudin-al-ayub/
Juli 1192 sepasukan muslim dalam perang salib menyerang tenda-tenda pasukan salib diluar benteng kota Jaffa, termasuk didalamnya ada tenda Raja Inggris, Richard I. Raja Richard pun menyongsong serangan pasukan muslim dengan berjalan kaki bersama para prajuritnya. Perbandingan pasukan muslim dengan Kristen adalah 4:1. Salahudin Al Ayubi yang melihat Richard dalam kondisi seperti itu berkata kepada saudaranya : ” Bagaimana mungkin seorang raja berjalan kaki bersama prajuritnya? Pergilah ambil kuda arab ini dan berikan kepadanya, seorang laki-laki sehebat dia tidak seharusnya berada di tempat ini dengan berjalan kaki “. Fragmen diatas dicatat sebagai salah satu karakter yang pemurah dari Salahudin, bahkan kepada musuhnya sekalipun. Walalupun sedang diatas angin tetap berlaku adil dan menghormati lawan-lawannya.
Sejarah Hidup Salahudin
Salahudin lahir disebuah kastil di Takreet tepi sungai Tigris (daerah Irak) tahun 1137 Masehi atau 532 Hijriyah. Bernama asli Salah al-Din Yusuf bin Ayub. Ayahnya Najm ad-Din masih keturunan suku Kurdi dan menjadi pengelola kastil itu. Setelah kelahiran Salahudin keluarga Najm-ad-Din bertolak ke Mosul, akibat ada konflik didalam kastil. Di Mosul , keluarga Najm bertemu dan membantu Zangi, seorang penguasa arab yang mencoba menyatukan daerah-daerah muslim yang terpecah menjadi beberapa kerajaan seperti Suriah, Antiokhia, Aleppo, Tripoli, Horns, Yarussalem, Damaskus.
Zangi berhasil menguasai Suriah selanjutnya Zangi bersiap untuk menghadapi serbuan tentara Salib dari Eropa yang telah mulai memasuki Palestina. Zangi bersama saudaranya; Nuruddin menjadi mentor bagi Salahudin kecil yang mulai tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarga ksatria. Dari kecil sudah mulai terlihat karakter kuat Salahudin yang rendah hati, santu serta penuh belas kasih. Zangi meninggal digantikan Nuruddin. Paman Salahudin, Shirkuh kemudian ditunjuk untuk menaklukan Mesir yang saat itu sedang dikuasai dinasti Fatimiyah. Setelah penyerangan kelima kali, tahun 1189 Mesir dapat dikuasai. Shirkuh kemudian meninggal. Selanjutnya Salahudin diangkat oleh Nuruddin menjadi pengganti Shirkuh.
Salahudin yang masih muda dan dinggap “hijau” ternyata mampu melakukan mobilisasi dan reorganisasi pasukan dan perekonomian di Mesir, terutama untuk menghadapi kemungkinan serbuan balatentara Salib. Berkali-kali serangan pasukan Salib ke Mesir dapat Salahudin patahkan. Akan tetapi keberhasilan Salahudin dalam memimpin mesir mengakibatkan Nuruddin merasa khawatir tersaingi. Akibatnya hubungan mereka memburuk. Tahun 1175 Nuruddin mengirimkan pasukan untuk menaklukan Mesir. Tetapi Nuruddin meninggal saat armadanya sedang dalam perjalanan. Akhirnya penyerangan dibatalkan. Tampuk kekuasaan diserahkan kepada putranya yang masih sangat muda. Salahudin berangkat ke Damaskus untuk mengucapkan bela sungkawa. Kedatangannya banyak disambut dan dielu-elukan. Salahudin yang santun berniat untuk menyerahkan kekuasaan kepada raja yang baru dan masih belia ini. Pada tahun itu juga raja muda ini sakit dan meninggal. Posisinya digantikan oleh Salahudin yang diangkat menjadi pemimpin kekhalifahan Suriah dan Mesir.
Salahudin dan Perang Salib
Saat Salahudin berkuasa, perang salib sedang berjalan dalam fase kedua dengan dikuasainya Yerussalem oleh pasukan Salib. Namun pasukan Salib tidak mampu menaklukan Damaskus dan Kairo. Saat itu terjadi gencatan senjata antara Salahudin dengan Raja Yerussalem dari pasukan Salib, Guy de Lusignan.
Perang salib yang disebut-sebut sebagai fase ketiga dipicu oleh penyerangan pasukan Salib terhadap rombongan peziarah muslim dari Damaskus. Penyerangan ini dipimpin oleh Reginald de Chattilon penguasa kastil di Kerak yang merupakan bagian dari Kerajaan Yerussalem. Seluruh rombongan kafilah ini dibantai termasuk saudara perempuan Salahudin. Insiden ini menghancurkan kesepakatan gencatan senjata antara Damaskus dan Yerussalem. Maret 1187 setelah bulan suci Ramadhan, Salahudin menyerukan Jihad Qittal. Pasukan muslimin bergerak menaklukan benteng-benteng pasukan Salib. Puncak kegemilangan Salahudin terjadi di Perang Hattin.
Perang Hattin terjadi di bulan Juli yang kering. Pasukan muslim dengan jumlah 25000 orang mengepung tentara salib didaerah Hattin yang menyerupai tanduk. Pasukan muslim terdiri atas 12000 orang pasukan berkuda (kavaleri) sisanya adalah pasukan jalan kaki (infanteri). Kavaleri pasukan muslim menunggangi kuda yaman yang gesit dengan pakaian dari katun ringan (kazaghand) untuk meminimalisir panas terik di padang pasir. Mereka terorganisir dengan baik, berkomunikasi dengan bahasa arab. Pasukan dibagi menjadi beberapa skuadron kecil dengan menggunakan taktik hit and run.
Pasukan salib terdiri atas tiga bagian. Bagian depan pasukan adalah pasukan Hospitaler, bagian tengah adalah batalyon kerajaan yang dipimpin Guy de Lusignan yang juga membawa Salib besar sebagai lambang kerajaan. Bagian belakang adalah pasukan ordo Knight Templar yang dipimpin Balian dari Ibelin. Bahasa yang mereka gunakan bercampur antara bahasa Inggris, Perancis dan beberapa bahasa eropa lainnya. Seperti umumnya tentara Eropa mereka menggunakan baju zirah dari besi yang berat, yang sebetulnya tidak cocok digunakan di perang padang pasir.
Salahudin memanfaatkan celah-celah ini. Malam harinya pasukan muslimin membakar rumput kering disekeliling pasukan Salib yang sudah sangat kepanasan dan kehausan. Besok paginya Salahudin membagikan anak panah tambahan pada pasukan kavalerinya untuk membabat habis kuda tunggangan musuh. Tanpa kuda dan payah kepanasan, pasukan salib menjadi jauh berkurang kekuatannya. Saat peperangan berlangsung dengan kondisi suhu yang panas hampir semua pasukan salib tewas. Raja Yerussalem Guy de Lusignan berhasil ditawan sedangkan Reginald de Chattilon yang pernah membantai khalifah kaum muslimin langsung dipancung. Kepada Raja Guy, Salahudin memperlakukan dengan baik dan dibebaskan dengan tebusan beberapa tahun kemudian.
Menuju Yerussalem
Dari Hattin, Salahudin bergerak menuju kota-kota Acre, Beirut dan Sidon untuk dibebaskan. Selanjutnya Salahudin bergerak menuju Yerussalem. Dalam pembebasan kota-kota ataupun benteng Salahudin selalu mengutamakan jalur diplomasi dan penyerahan daripada langsung melakukan penyerbuan militer. Pasukan Salahudin mengepung Kota Yerussalem , pasukan salib di Yerussalem dipimpin oleh Balian dari Obelin. Empat hari kemudian Salahudin menerima penawaran menyerah dari Balian. Yerussalem diserahkan ketangan kaum muslimin. Salahuddin menjamin kebebasan dan keamanan kaum Kristen dan Yahudi. Fragmen ini di abadikan dalam film “Kingdom Of Heaven” besutan sutradara Ridley Scott. Tanggal 27 Rajab 583 Hijriyah atau bertepatan dengan Isra Mi’raj Rasulullah SAW, Salahudin memasuki kota Yerussalem.
Ada suatu percakapan dalam film Kingdom Of Heaven yang menarik bagi penulis, yang kurang lebih seperti ini :
Balian : ”Saya serahkan kunci kota Yerussalem kepada anda, tapi anda harus dapat bisa menjamin keselamatan kami, orang-orang non-muslim”
Salahudin: ”Saya akan jamin keselamatan anda”
Balian : ” Apa yang dapat menjamin kami bahwa anda akan menepati janji anda ?” (Balian masih ingat saat-saat Yerussalem jatuh ke tangan pasukan Salib, banyak penduduk sipil muslim yang dibantai sampai kota Yerussalem sesak oleh mayat, dan Balian khawatir Salahudin melakukan hal yang sama )
Salahudin : ” (diam sejenak..menatap tajam Balian) Saya akan menepati janji, Insya Allah ..saya adalah Salahudin saya bukan seperti orang-orang anda”.
…………………………………………………………
Di Yerussalem, Salahudin kembali menampilkan kebijakan dan sikap yang adil sebagai pemimpin yang shalih. Mesjid Al-Aqsa dan Mesjid Umar bin Khattab dibersihkan tetapi untuk Gereja Makam Suci tetap dibuka serta umat Kristiani diberikan kebebasan untuk beribadah didalamnya. Salahudin berkata :” Muslim yang baik harus memuliakan tempat ibadah agama lain”. Sangat kontras dengan yang dilakukan para pasukan Salib di awal penaklukan kota Yerussalem (awal perang salib), sejarah mencatat kota Yerussalem digenangi darah dan mayat dari penduduk muslimin yang dibantai. Sikap Salahudin yang pemaaf dan murah hati disertai ketegasan adalah contoh kebaikan bagi seluruh alam yang diperintahkan ajaran Islam.
Salahudin Al-Ayubi tidak tinggal di istana megah. Ia justru tinggal di mesjid kecil bernama Al-Khanagah di Dolorossa. Ruangan yang dimilikinya luasnya hanya bisa menampung kurang dari 6 orang.Walaupun sebagai raja besar dan pemenang perang, Salahudin sangat menjunjung tinggi kesederhanaan dan menjauhi kemewahan serta korupsi.
Salahudin berhasil mempertahankan Yerussalem dari serangan musuh besarnya Richard The Lion Heart, Raja Inggris. Richard menyerang dan mengepung Yerussalem Desember 1191 dan Juli 1192. Namun penyerangan-penyerangannya dapat digagalkan oleh Salahudin. Kepada musuhnya pun Salahudin berlaku penuh murah hati. Saat Richard sakit dan terluka, Salahudin menghentikan pertempuran serta mengirimkan hadiah serta tim pengobatan kepada Richard. Richard pun kembali ke Inggris tanpa berhasil mengalahkan Salahudin.
Sepanjang sejarah Yerussalem sebagai kota suci bagi tiga agama, sejak ditaklukan Salahudin, Yerussalem belum pernah jatuh ketangan pihak lain. Baru setelah Perang Dunia I, Yerussalem jatuh ketangan Inggris yang kemudian diserahkan ke tangan Israel.
Semasa hidupnya Salahudin lebih banyak tinggal di barak militer bersama para prajuritnya dibandingkan hidup dalam lingkungan istana. Salahudin wafat 4 Maret 1193 di Damaskus. Para pengurus jenazah sempat terkaget-kaget karena ternyata Salahudin tidak memiliki harta. Ia hanya memiliki selembar kain kafan yang selalu di bawanya dalam setiap perjalanan dan uang senilai 66 dirham nasirian (mata uang Suriah waktu itu).
Sampai sekarang Salahudin Al-Ayubi tetap dikenang sebagai pahlawan besar yang penuh sikap murah hati.
Disadur dari GREAT COMMANDERS OF THE BATTLE FIELDS
http://wagenugraha.wordpress.com/2008/10/12/salahudin-al-ayub/
Kisah Cangkir Cantik
nyonge nganti kelalen kiye njukut sekang endi koh...
untuk di renungkan
nek gelem maca ya syukur, ora gelem ya ora masalah
Sepasang kakek dan nenek pergi berbelanja untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju pada sebuah cangkir yang cantik. “Lihat cangkir itu”, kata sang nenek kepada suaminya. “Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat” ujar si kakek. Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara. “Terima kasih atas perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik.
Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi aku hanyalah seonggok tanah liat yang tak berguna. Namun pada suatu hari seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah meja berputar. Kemudian ia memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing.
“Stop!, stop!,” aku berteriak. tetapi orang itu berkata “Belum”. Lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. “Stop, stop”, tapi orang ini terus meninjuku tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi, ia memasukkan aku ke dalam perapian. “Panas-Panas” teriakku dengan keras.
“Stop!, Cukup!”, teriakku lagi. Tapi orang ini berkata “belum!” Akhirnya aku diangkat dri perapian. Aku berpikir selesailah penderitaanku, ternyata belum. Seorang wanita muda datang dan mulai mewarnaiku, asapnya begitu memualkan. “Stop! Stop!”, aku berteriak. Wanita itu berkata “Belum”. Lalu seorang pria memasukkan aku kembali ke perapian yang lebih panas.
Sambil menangis aku berteriak sekuatnya “Tolong..! Hentikan penyiksaan ini!” Tapi orang itu tidak memperdulikan teriakanku, ia terus membakarku, setelah puas menyiksaku kini aku dibiarkan dingin . Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan meletakkanku di atas kaca. Aku melihat diriku, aku hampir tidak percaya, karena dihadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua sakit dan derita lalu sirna tatkala kulihat diriku.
Untuk kita renungkan….
Seperti inilah tuhan membentuk kita. Pada saat Allah membentuk kita, tidaklah menyenangkan, sakit, dan penuh air mata. Tetapi inilah satu-satunya cara dari-Nya untuk mengubah kita menjadi lebih cantik dan memancarkan kemuliaannya. Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan apabila engkau jatuh ke dalam berbagai cobaan.
Sebab engkau tahu bahwa ujian akan menghasilkan ketekunan, dan biarkan ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya engkau menjadi sempurna dan utuh, tak kekurangan suatu apapun.
Apabila engkau sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati karena Dia sedang membentuk dirimu. Proses pembentukan ini memang menyakitkan, tetapi setelah semua proses itu selesai, engkau akan melihat betapa cantiknya Tuhan membentuk dirimu.
Selamat Berproses...
untuk di renungkan
nek gelem maca ya syukur, ora gelem ya ora masalah
Sepasang kakek dan nenek pergi berbelanja untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju pada sebuah cangkir yang cantik. “Lihat cangkir itu”, kata sang nenek kepada suaminya. “Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat” ujar si kakek. Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara. “Terima kasih atas perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik.
Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi aku hanyalah seonggok tanah liat yang tak berguna. Namun pada suatu hari seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah meja berputar. Kemudian ia memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing.
“Stop!, stop!,” aku berteriak. tetapi orang itu berkata “Belum”. Lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. “Stop, stop”, tapi orang ini terus meninjuku tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi, ia memasukkan aku ke dalam perapian. “Panas-Panas” teriakku dengan keras.
“Stop!, Cukup!”, teriakku lagi. Tapi orang ini berkata “belum!” Akhirnya aku diangkat dri perapian. Aku berpikir selesailah penderitaanku, ternyata belum. Seorang wanita muda datang dan mulai mewarnaiku, asapnya begitu memualkan. “Stop! Stop!”, aku berteriak. Wanita itu berkata “Belum”. Lalu seorang pria memasukkan aku kembali ke perapian yang lebih panas.
Sambil menangis aku berteriak sekuatnya “Tolong..! Hentikan penyiksaan ini!” Tapi orang itu tidak memperdulikan teriakanku, ia terus membakarku, setelah puas menyiksaku kini aku dibiarkan dingin . Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan meletakkanku di atas kaca. Aku melihat diriku, aku hampir tidak percaya, karena dihadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua sakit dan derita lalu sirna tatkala kulihat diriku.
Untuk kita renungkan….
Seperti inilah tuhan membentuk kita. Pada saat Allah membentuk kita, tidaklah menyenangkan, sakit, dan penuh air mata. Tetapi inilah satu-satunya cara dari-Nya untuk mengubah kita menjadi lebih cantik dan memancarkan kemuliaannya. Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan apabila engkau jatuh ke dalam berbagai cobaan.
Sebab engkau tahu bahwa ujian akan menghasilkan ketekunan, dan biarkan ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya engkau menjadi sempurna dan utuh, tak kekurangan suatu apapun.
Apabila engkau sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati karena Dia sedang membentuk dirimu. Proses pembentukan ini memang menyakitkan, tetapi setelah semua proses itu selesai, engkau akan melihat betapa cantiknya Tuhan membentuk dirimu.
Selamat Berproses...
Hujjatul Islam Imam Al-Ghozali ; “Kehidupan adalah Cinta dan Ibadah”
“Negeri akhirat itu kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan
(yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
Alunan suara ayat-ayat suci Al-qur’an itu berkumandang dimalam yang sepi, dibawa angin malam hingga masuk ke telinga seorang lelaki yang sedang merenung dan memandang ke cakrawala yang luas, lalu meresap ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Lelaki itu lantas berguman “Maha suci Engkau, oh Tuhanku! Engkau selalu mengirimkan cahaya petunjuk-Mu setiap aku sedang dilanda keraguan”.
Lelaki itu adalah Hujjatul Islam, Imam Al-Ghozali. Siapapun mengenal Imam Ghozali, karena beliau adalah tokoh dan pemuka para sufi. Ulama yang mempunyai nama asli Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghozali dan dilaqobi Abu Hamid ini bisa menempuh derajat tinggi dan meninggalkan beberapa buku buah pikiran bukanlah hasil pikiran yang begitu saja keluar dari jiwa. Ia merupakan intisari dari perjuangan hati dan akal, wahyu dan ilham, serta karunia dan cahaya dari sumbernya yang tersembunyi.
Imam Ghozali adalah orang yang sedang mencari-cari petunjuk dan keyakinan. Dia telah menghabiskan umurnya sejak muda untuk menutut ilmu dan pengetahuan sampai akhirnya beliau mencapai tingkat yang paling tinggi. Kemudian dia pun dicari oleh para raja, dan para ulama pun menghormatinya. Namun hatinya sedih dan bimbang, ia merasakan masih ada yang kurang pada dirinya, ia mencari sesuatu yang lebih tinggi dari perhiasan dan kesenangan dunia, cahaya yang lebih tinggi dari pengetahuan manusia. Ia mencari petunjuk dan keyakinan yang tetap dan mantap.
Dalam rangka mencari petunjuk dan cahaya Ilahi, ia sering mengurangi jam tidurnya, hingga matanya sembab dan sakit karena mencari kebenaran. Dia merenung dan berpikir, dia merasakan kekosongan iman telah memenuhi kehidupannya. Ia merasakan hidupnya bagaikan tanpa tujuan dan keyakinan. Lantas iapun mencari ilmu dengan gigihnya, pertama yang dipelajari adalah ilmu fiqih. Dia adalah termasuk orang yang sangat cerdas dan berpikiran kritis, namun dia tidak menyukai perdebatan dan adu mulut.
Selanjutnya dia belajar ilmu kalam dengan semua dalil-dalinya. Setelah puas kemudian beliau mempelajari filsafat, ilmu kebangaan akal manusia. Ia ingin memuaskan akalnya dengan teori-teori filsafat. Akan tetapi filsafat dirasakannya justru semakin menambah keraguan dan kebimbangan, bahkan mengajaknya lari dari pertimbangan akal.
Dalam keadaan seperti itu, Imam Ghozali memutuskan untuk lari dari manusia dan ilmu pengetahuan, ia berharap dapat menemukan tanda-tanda kekuasaan Allah Yang Maha Agung. Akhirnya beliau bertemu dengan seorang waliyullah, bernama Syekh Yusuf An-Nassaj. Ia lalu berguru dengannya, menyertainya untuk dibersihkan hatinya melalui riyadloh dan mujahadah hingga masuk kedalam keyakinan dan cahaya Ilahi. “Dahulu, aku tidak mempercayai “tingkah” orang-orang soleh, juga derajat para ‘arifin, hingga akhirnya aku berkenalan dengan guruku Syekh Yusuf An-Nassaj”, kata Imam Ghozali setelah menjadi murid Syeh Yusuf.
Menurut Imam Ghozali, Syekh Yusuf lah yang telah menggemblengnya dengan latihan-latihan jiwa (mujahadah) sampai dia mencapai suatu tingkatan dimana dia bisa berkomunikasi dengan Allah Ta’ala.
Dalam pengembaraan mimpinya, ia melihat Allah Ta’ala. Allah ta’ala berkata kepadanya: “Hai Abu Hamid!,
Imam Ghozali menjawab; “Syetankah yang berbicara denganku?”,
“Tidak, tetapi Aku-lah Allah yang meliputi enam arahmu”, Jawab-Nya. Kemudian Allah Swt melanjutkan, “Hai Abu Hamid, bersahabatlah dengan kaum yang Aku jadikan sebagai obyek pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah orang-orang yang telah menjual dua alamnya (dunia dan akhirat) dengan kecintaan kepada-Ku”.
“Demi Izzah-Mu oh Tuhan, tanamkanlah prasangka baik dalam hatiku terhadap mereka”, kata Imam Ghozali.
Allah menjawab, “Sudah Aku lakukan. Sebenarnya yang memisahkan engkau dan mereka adalah karena kesibukanmu mencintai dunia. Maka keluarlah engkau dengan pilihanmu sendiri sebelum engkau keluar darinya dalam keadaan terhina. Aku telah menganugerahkan kepadamu cahaya dari sisi Qudus-Ku”.
Kemudian Imam Ghozali terbangun dari tidurnya dengan perasaan senang dan gembira, lalu dia pergi menemui gurunya, Syekh Yusuf An-Nassaj dan menceritakan tentang mimpinya semalam. Syekh Yusuf tersenyum sambil berkata, “Wahai Abu Hamid, itu hanyalah permulaan. Seandainya engkau terus menerus menemaniku, akan aku celaki matamu dengan celak ta’yid, sehingga engkau dapat memandang ‘arsy dan hal-hal yang berada di sekelilingnya. Kemudian engkau tidak rela sampai engkau dapat menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dicapai dengan mata. Maka akhirnya tabiat (watak)-mu menjadi jernih, naik ke atas kekuasaan akalmu, lalu engkau akan mendengar ucapan Allah ta’ala, seperti ucapan-Nya kepada Nabi Musa as.
Kesibukan dunia adalah penghalang yang harus dihilangkan oleh Imam Ghozali, dan cintanya kepada Allah serta menyatu dalam ibadah-Nya adalah tetesan cahaya pertama dalam anugerah ini. Karena itulah kemudian Imam Ghozali menempuh jalan tasawwuf dan berjuang keras hingga akhirnya menjadi salah seorang tokoh dan pemukanya yang terkenal.
“Semua syahwat (kesenangan) dunia bergantung pada nafsu, dan nafsu akan lenyap bersama kematian. Sebaliknya, kelezatan ma’rifat kepada Allah bergantung pada kalbu, dan kalbu tidak akan rusak bersama kematian. Bahkan, kelezatannya akan lebih banyak dan cahayanya akan lebih besar, sebab ia keluar dari kegelapan menuju cahaya”.
Imam Ghozali telah menjelaskan dengan yakin dan pasti bahwa kehidupan yang utama dan bahagia adalah ma’rifatullah (mengenal Allah) dan mahabbatullah (cinta Allah). Sedangkan ibadah kepada Allah merupakan tujuan yang paling tinggi dan mulia. Sebab semua kenikmatan selain dari ibadah adalah fana (tidak kekal). Semua tujuan selain ibadah adalah sia-sia. Karena itulah, risalah Al-Ghozali teringkas dalam kalimat yang pendek: “Kehidupan adalah cinta dan ibadah”.
Pikirannya senantiasa terfokus pada pencarian hidayah-Nya dari langit. Semua amalnya selalu berstempelkan iman. Dakwahnya terang dan jelas, tanpa dicampuri oleh perdebatan dan riya’ (mengharap sanjungan), hanya iman kepada Sang Pencipta yang mengetahui segala bisikan hati dan perbuatan manusia. (m.muslih albaroni)
Alunan suara ayat-ayat suci Al-qur’an itu berkumandang dimalam yang sepi, dibawa angin malam hingga masuk ke telinga seorang lelaki yang sedang merenung dan memandang ke cakrawala yang luas, lalu meresap ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Lelaki itu lantas berguman “Maha suci Engkau, oh Tuhanku! Engkau selalu mengirimkan cahaya petunjuk-Mu setiap aku sedang dilanda keraguan”.
Lelaki itu adalah Hujjatul Islam, Imam Al-Ghozali. Siapapun mengenal Imam Ghozali, karena beliau adalah tokoh dan pemuka para sufi. Ulama yang mempunyai nama asli Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghozali dan dilaqobi Abu Hamid ini bisa menempuh derajat tinggi dan meninggalkan beberapa buku buah pikiran bukanlah hasil pikiran yang begitu saja keluar dari jiwa. Ia merupakan intisari dari perjuangan hati dan akal, wahyu dan ilham, serta karunia dan cahaya dari sumbernya yang tersembunyi.
Imam Ghozali adalah orang yang sedang mencari-cari petunjuk dan keyakinan. Dia telah menghabiskan umurnya sejak muda untuk menutut ilmu dan pengetahuan sampai akhirnya beliau mencapai tingkat yang paling tinggi. Kemudian dia pun dicari oleh para raja, dan para ulama pun menghormatinya. Namun hatinya sedih dan bimbang, ia merasakan masih ada yang kurang pada dirinya, ia mencari sesuatu yang lebih tinggi dari perhiasan dan kesenangan dunia, cahaya yang lebih tinggi dari pengetahuan manusia. Ia mencari petunjuk dan keyakinan yang tetap dan mantap.
Dalam rangka mencari petunjuk dan cahaya Ilahi, ia sering mengurangi jam tidurnya, hingga matanya sembab dan sakit karena mencari kebenaran. Dia merenung dan berpikir, dia merasakan kekosongan iman telah memenuhi kehidupannya. Ia merasakan hidupnya bagaikan tanpa tujuan dan keyakinan. Lantas iapun mencari ilmu dengan gigihnya, pertama yang dipelajari adalah ilmu fiqih. Dia adalah termasuk orang yang sangat cerdas dan berpikiran kritis, namun dia tidak menyukai perdebatan dan adu mulut.
Selanjutnya dia belajar ilmu kalam dengan semua dalil-dalinya. Setelah puas kemudian beliau mempelajari filsafat, ilmu kebangaan akal manusia. Ia ingin memuaskan akalnya dengan teori-teori filsafat. Akan tetapi filsafat dirasakannya justru semakin menambah keraguan dan kebimbangan, bahkan mengajaknya lari dari pertimbangan akal.
Dalam keadaan seperti itu, Imam Ghozali memutuskan untuk lari dari manusia dan ilmu pengetahuan, ia berharap dapat menemukan tanda-tanda kekuasaan Allah Yang Maha Agung. Akhirnya beliau bertemu dengan seorang waliyullah, bernama Syekh Yusuf An-Nassaj. Ia lalu berguru dengannya, menyertainya untuk dibersihkan hatinya melalui riyadloh dan mujahadah hingga masuk kedalam keyakinan dan cahaya Ilahi. “Dahulu, aku tidak mempercayai “tingkah” orang-orang soleh, juga derajat para ‘arifin, hingga akhirnya aku berkenalan dengan guruku Syekh Yusuf An-Nassaj”, kata Imam Ghozali setelah menjadi murid Syeh Yusuf.
Menurut Imam Ghozali, Syekh Yusuf lah yang telah menggemblengnya dengan latihan-latihan jiwa (mujahadah) sampai dia mencapai suatu tingkatan dimana dia bisa berkomunikasi dengan Allah Ta’ala.
Dalam pengembaraan mimpinya, ia melihat Allah Ta’ala. Allah ta’ala berkata kepadanya: “Hai Abu Hamid!,
Imam Ghozali menjawab; “Syetankah yang berbicara denganku?”,
“Tidak, tetapi Aku-lah Allah yang meliputi enam arahmu”, Jawab-Nya. Kemudian Allah Swt melanjutkan, “Hai Abu Hamid, bersahabatlah dengan kaum yang Aku jadikan sebagai obyek pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah orang-orang yang telah menjual dua alamnya (dunia dan akhirat) dengan kecintaan kepada-Ku”.
“Demi Izzah-Mu oh Tuhan, tanamkanlah prasangka baik dalam hatiku terhadap mereka”, kata Imam Ghozali.
Allah menjawab, “Sudah Aku lakukan. Sebenarnya yang memisahkan engkau dan mereka adalah karena kesibukanmu mencintai dunia. Maka keluarlah engkau dengan pilihanmu sendiri sebelum engkau keluar darinya dalam keadaan terhina. Aku telah menganugerahkan kepadamu cahaya dari sisi Qudus-Ku”.
Kemudian Imam Ghozali terbangun dari tidurnya dengan perasaan senang dan gembira, lalu dia pergi menemui gurunya, Syekh Yusuf An-Nassaj dan menceritakan tentang mimpinya semalam. Syekh Yusuf tersenyum sambil berkata, “Wahai Abu Hamid, itu hanyalah permulaan. Seandainya engkau terus menerus menemaniku, akan aku celaki matamu dengan celak ta’yid, sehingga engkau dapat memandang ‘arsy dan hal-hal yang berada di sekelilingnya. Kemudian engkau tidak rela sampai engkau dapat menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dicapai dengan mata. Maka akhirnya tabiat (watak)-mu menjadi jernih, naik ke atas kekuasaan akalmu, lalu engkau akan mendengar ucapan Allah ta’ala, seperti ucapan-Nya kepada Nabi Musa as.
Kesibukan dunia adalah penghalang yang harus dihilangkan oleh Imam Ghozali, dan cintanya kepada Allah serta menyatu dalam ibadah-Nya adalah tetesan cahaya pertama dalam anugerah ini. Karena itulah kemudian Imam Ghozali menempuh jalan tasawwuf dan berjuang keras hingga akhirnya menjadi salah seorang tokoh dan pemukanya yang terkenal.
“Semua syahwat (kesenangan) dunia bergantung pada nafsu, dan nafsu akan lenyap bersama kematian. Sebaliknya, kelezatan ma’rifat kepada Allah bergantung pada kalbu, dan kalbu tidak akan rusak bersama kematian. Bahkan, kelezatannya akan lebih banyak dan cahayanya akan lebih besar, sebab ia keluar dari kegelapan menuju cahaya”.
Imam Ghozali telah menjelaskan dengan yakin dan pasti bahwa kehidupan yang utama dan bahagia adalah ma’rifatullah (mengenal Allah) dan mahabbatullah (cinta Allah). Sedangkan ibadah kepada Allah merupakan tujuan yang paling tinggi dan mulia. Sebab semua kenikmatan selain dari ibadah adalah fana (tidak kekal). Semua tujuan selain ibadah adalah sia-sia. Karena itulah, risalah Al-Ghozali teringkas dalam kalimat yang pendek: “Kehidupan adalah cinta dan ibadah”.
Pikirannya senantiasa terfokus pada pencarian hidayah-Nya dari langit. Semua amalnya selalu berstempelkan iman. Dakwahnya terang dan jelas, tanpa dicampuri oleh perdebatan dan riya’ (mengharap sanjungan), hanya iman kepada Sang Pencipta yang mengetahui segala bisikan hati dan perbuatan manusia. (m.muslih albaroni)
Syekh Ibnu Atha'illah, Penulis Kitab Al-Hikam
Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah
As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan
meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari
merujuk kota kelahirannya itu.
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
REPUBLIKA.CO.ID,
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
REPUBLIKA.CO.ID,
Kesatuan Realitas (Ibn-Arabi)
KESATUAN REALITAS
(Pemikiran Ibn Arabi, 1165-1240 M)
Dikutip dari Buku
WACANA BARU FILSAFAT ISLAM
Penerbit Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2004Bab II/ Metafisika, hal 138-156.
Penulis: A Khudori Soleh
Kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah salah satu gagasan paling kontroversial dalam metafisika, khususnya metafisika mistik. Pemikiran ini dicetuskan oleh Ibn Arabi.
Akan tetapi, menurut Kautsar Azhari Noer,Ibn Arabi sendiri,sebenarnya, secara formal tidak pernah menggunakan kata-kata wahdah al-wujûd dalam tulisan-tulisannya. Orang pertama yang menggunakan istilah ini, meski tidak sebagai istilah teknis dan independen, adalah Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274 M).Hanya saja, ajaran-ajaran Ibn Arabi tentang realitas bisa memberi pemaknaan kearah itu.
A. Riwayat Hidup.
Ibn Arabi, lengkapnya Muhammad ibn `Ali ibn Muhammadibn al-`Arabi al-Thai al-Tamimi,lahir di Mursia, Spanyol bagiantenggara, 17 Ramadan 560 H/ 28 Juli 1165 M, pada masapemerintahan Muhammad ibn Sa`id ibn Mardanisy.MenurutAffifi,Ibn Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang saleh, dimana ayah dan tiga pamannya --dari jalur ibu-- adalahtokoh sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari
Muhy al-Dîn (Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus),karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidangmistik.
Belum ada seorang tokoh muslim yang mencapai posisisebagaimana kedudukannya. Ibn Arabi meninggal di Damaskus--dan di makamkan disana-- tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/Nopember 1240 M, dalam usia 78 tahun. Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Seville, ketika ayahnyamenjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, al-Qur’an, hadis, fiqh, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilanpendidikan dan kecerdasan otaknya --juga kedudukan ayahnya--mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur Seville dalam usia belasan.
Yang perlu dicatat, bahwa kota Saville saat itu,selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan pusatkegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggaldisana. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kayamempercepat pembentukan Ibn Arabi sebagai tokoh sufis yangterpelajar, apalagi ia telah masuk thariqat sejak usia 20 tahun. Selama menetap di Saville, Ibn Arabi muda seringmelakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untukberguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupunsarjana terkemuka.
Salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126-1198 M), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof Paripatetik ini dalam perdebatan dan tukar fikiran;sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. Juga, menurut Kautsar,menujukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisisme dan filsafat dalam kesadaran metafisis Ibn Arabi. Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan disokong olehpemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn Arabi adalah seorangmistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisamemfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatupandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihatdalam gagasannya tentang wahdat al-wujud.
Selanjutnya, pengembaraannya semakin luas dan mulaikeluar dari semenanjung Iberia menuju Tunis (1193 M) untukberguru pada Ibn Qusi; tokoh sufi yang melakukanpemberontakan pada dinasti Murabbitin.
Kemudian pergi ke Fezdan tinggal disana selama 4 tahun, terus ke Marrakesy, Almaria,Bugia dan kembali ke Tunis (1202 M), setelah pada tahun 1199M, pulang ke Kordova guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd.Selama pengembaraan ini, ia sempat menelorkan beberapakarya tulis, seperti Mawâqi’ al-Nujûm, Insya al-Dawair dan lainnya. Akan tetapi, situasi religio-politis tidak mengizinkan IbnArabi tinggal lama di Spanyol ataupun di Afrika utara, sehinggaia melarikan diri ke Makkah (1201 M), karena --seperti tokoh sufi lainnya-- dituduh menggerakkan makar terhadap pemerintah. Di Makkah sekitar 3 tahun, Ibn Arabi mempergunakan waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Disini ia mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya,
al-Futuhât al-Makkiyah,disamping menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, ia kembali mengembara ke berbagaikota; Madinah, Yerusalem, Baghdad, Masul, Konya, Damascus,Hebron, Kairo dan kembali ke Makkah (1207 M) karena tidakaman di Mesir. Di tengah perjalanan ini, untuk ketiga kalinya ia diangkat sebagai murid Khidir untuk menerima rahasia-rahasia Ilahiyah. Setahun di Makkah, Ibn Arabi berkunjung keAsia kecil melalui Aleppo dan Konya, kemudian ke Armenia danBaghdad, bertemu Syihabuddin Suhrawardi al-Zanzani (w.630/1233 ), seorang tokoh sufi, penulis kitab Awârif al-Ma`ârif.
Akhirnya, tahun 1224 M, Ibn Arabi menetap di Damascus,memenuhi permintaan khalifah al-Malik al-`Adil (1227 M).Kecuali kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi tidak lagi melakukan pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis dan mengajar. Disini ia menyelesaikan kitab monumentalnya,
al-Futûhat al-Makkiyah,dan menulis kitab lain yang terkenal;
Fushûsh al-Hikam,disamping kitab-kitab yang lain. Kedekatannya dengan pemerintah menyebabkan ajarannya mudah dan cepat di terima di masyarakat.
Ibn Arabi termasuk tokoh yang sangat produktif. Menurut Osman Yahia,Ibn Arabi meninggalkan tidak kurang dari 700 karya tulis, tetapi hanya 400 buah yang masih ada; meliputi metafisika, kosmologi, psikologi, tafsir dan hampir setiap cabang keilmuan, yang semua didekati dengan tujuan menjelaskan makna esoterisnya. Karyanya yang terbesar adalah al-Futûhât al-Makiyah, yang terdiri atas 37 jilid, 560 bab, 18.500 halaman dalam edisi Osman Yahio. Yang lain adalah Fushûsh al-Hikam,yang menurutnya diterima dari Rasul saw agar disebarkan kepada manusia. Meski karya ini relatif pendek, tapi paling banyak dikaji dan diberi komentar, karena paling sulit, paling berpengaruh dan paling masyhur. Tidak kurang dari 100 buku ditulis untuk mengomentari Fushûsh al-Hikam tersebut.
B. Antara Mistik dan Filsafat.
Ibn Arabi adalah tokoh mistik yang menuliskanpengalaman ruhaninya lewat cara fikir filsafat. Mistik (sufisme)adalah sebuah pencarian kebenaran lewat jalan experience(penghayatan) dengan atas dasar cinta. Perbedaan sufisme dengan filsafat, menurut Mutahhari,
pertama
, filsafat meminjakkan argumennya pada postulat-postulatnya,sementara mistik mendasarkan argumennya pada visi dan intuisi serta kemungkinan mengemukakan berbagai teorinyasecara teoritis.
Kedua
, dalam mencapai tujuannya, filsafatmenggunakan rasio dan intelektualnya, sementara mistikmenggunakan kalbu dan jiwa suci serta upaya spiritual terusmenerus. Ini di lakukan karena rasio atau intelek dianggapkurang memadai untuk menggapai kebenaran hakiki.
Ketiga,
tujuan dalam filsafat adalah memahami alam semesta. Filosof ingin mendapat gambaran tentang alam semesta yang benar, sempurna, dan menyeluruh.
Di mata filsafat, capaian tertinggi manusia adalah mampu memahami dunia sedemikian rupa sehingga --dalam eksistensi dirinya--eksistensi dunia inipun tegak dan dia sendiri menjadi dunia.Karena itu, filsafat sering didefinisikan sebagai, ‘dunia mental manusia yang menjadi sama dengan dunia yang ada’.
Sementara itu, dalam mistik, persoalan intelek atau rasio tidak begitu menarik. Seorang mistik ingin menjangkau hakekat eksistensi, Allah sendiri. Ia ingin berjumpa dengan hakekat ini dan mengamatinya. Menurut kaum mistik, capaian tertinggi manusia adalah kembali kepada asal-usulnya guna menghindari jarak antara dirinya dengan Tuhan serta menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan untuk berusaha hidup abadi dalam Diri Tuhan.
Dalam pandangan kaum sufisme, termasuk Ibn Arabi,kebenaran ini terdiri atas tiga bagian, indera, rasio dan intuisi.
Ibn Arabi mengakui bahwa indera dan rasio adalah sarana penting untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi, apa yang dicapai indera dan rasio masih sangat terbatas. Indera hanya mampu mengkaji sejauh apa yang tampak, yang kasat mata,yang itu sangat rentan terhadap kesalahan. Begitu pula rasio,meski dengan kekuatannya mampu menjangkau rahasia yang ada dibalik alam indera, ia masih belum --atau tidak-mampu menjangkau yang transenden. Kekuatan indera maupun rasio baru pada tahap mendekati yang hakiki, belum yang mencapai hakiki.
Atau menurut istilah Henry Bersogn, baru tahap‘pengetahuan mengenai’ (knowledge about) belum‘pengetahuan tentang’(knowledge of ). ‘Pengetahuan tentang’adalah pengetahuan diskursif, pengetahuan simbol yang diperoleh lewat perantara; indera atau rasio. ‘Pengetahuan tentang’ adalah pengetahuan langsung, pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung.
Karena itu, bagi Ibn Arabi yang lebih sebagai sufis, tidak ada jalan lain untuk bisa memahami realitas wujud yang hakiki kecuali menyelami langsung lewat penghayatan (experence)dalam mistik. Pengetahuan intuitif yang di peroleh lewat experence inilah pengetahuan yang sebenarnya, pengetahuan yang paling unggul dan pengetahuan yang terpercaya.Untuk mampu menangkap, menyelami serta memahami rahasia dan hakekat wujud diatas, sebelumnya, seseorang sefistik harus membersihkan jiwanya (qalb) untuk kemudian menghadap pada Tuhan dengan penuh cinta dan rindu.
Ibn Arabi menetapkan lima tahapan secara gradual untuk pembersihan hati ini.
(1) Membersihkan jiwa dengan menjauhkan diri dari segala perilaku dosa dan kemaksiatan disamping semakin rajindalam melakukan kebajikan;
(2) Meninggalkan seluruh --pengaruh-- dunia; menghentikan pemandangan terhadap aspekfenomena dunia dan kesadaran terhadap aspek nyata yangmenjadi dasar fenomenanya;
(3) Menjauhkan diri dari atribut-atribut dan kaulitas-kualitas wujud kontingen dengan kesadaranbahwa semua itu adalah kepunyaan Allah semata;
(4)Menghilangkan semua hal yang ‘selain Allah’, tetapi tidak‘menghilangkan’ tindakan itu sendiri. Disini sang mistiskehilangan --atau menghilangkan-- kesadaran dirinya sendiri sebagai orang yang memandang. Tuhan sendirilah yangmemandang sekaligus dipandang;
(5) Melepaskan atribut-atribut Tuhan serta ‘hubungan-hubungan’ dari atribut-atribut tersebut.Memandang Tuhan lebih sebagai essensi daripada ‘SebabPertama’ dari realitas semesta. Jika seseorang telah mencapai derajat ittihad,kesatuan diri dengan Tuhan, ia akan menerima ilmu langsung secara vertikal, dalam bentuk ilham.Pengetahuannya datang langsung lewat pancaran Tuhan (emanasi) yang tampak dalam batinnya. Begitu pula yang terjadi pada Ibn Arabi, sehingga rujukan-rujukan dari tokoh sebelumnya hanya digunakan semata demi untuk menerangkan dan mengibaratkan pengalaman-pengalaman batinnya,bukan rujukan yang sesungguhnya,yang dalam hal ini Ibn Arabi sendiri tidak pernah terpaku pada salah satu tokoh filsafat. Menurut Husain Nasr,pemaparan IbnArab banyak mengikuti Al-Hallaj (858-913 M) dan filsafat IbnSina (980-1037 M). Juga mengikuti teori-teori Noe-Epidoclesyang dikembangkan oleh Ibn Massarah (w. 923 M), Neo-Pithagoras yang di kembangkan kelompok Ikwan as-Shafamaupun Neo-Platonisme. Sedemikian, sehingga menurut Affifi,pemikiran metafisika Ibn Arabi tampak tidak beraturan, tidakkonsisten dan banyak mengambil pikiran-pikiran filsafatsebelumnya.
C. Essensi dan Eksistensi.
Menurut Ibn Arabi, eksistensi adalah ‘wujud’ dari essensi.
Sesuatu bisa dianggap wujud atau ada jika termanifestasikan dalam apa yang disebut ‘tahapan wujud’ (marâthib al-wujûd),yang terdiri atas 4 hal;
(1) eksis dalam wujud sesuatu (wujûd al-syai’ fî ainih),
(2) eksis dalam pikiran atau konsepsi (wujûd al-syai’ fî al-ilm),
(3) eksis dalam ucapan (wujûd al-syai’ fî al-alfazh),
(4) eksis dalam tulisan (wujûd al-syai’ fî ruqûm).
Segala sesuatu dianggap wujud jika ada didalam salah satu empat‘tahapan’ tersebut. Sesuatu yang tidak ada diantaranya tidakbisa dianggap sebagai wujud, dan karena itu tidak bisa dibicarakan.
Selanjutnya, apa yang wujud itu, yang berarti punyaeksistensi, dalam perspektif ontologis Ibn Arabi, terbagi dalamdua bagian; wujud mutlak dan wujud nisbi. Wujud mutlak adalahsuatu sesuatu yang eksis dengan dirinya sendiri dan untukdirinya sendiri, dan itu adalah Tuhan. Wujud nisbi adalah sesuatuyang eksistensinya terjadi oleh dan untuk wujud lain (wujûd bial-ghair). Wujud nisbi ini terbagi dalam dua bagian; wujud bebasdan wujud ‘bergantung’, yang disebut kedua ini berupa atribut-atribut, kejadian-kejadian dan hubungan-hubungan yang bersifatspesial dan temporal. Sementara itu, wujud nisbi bebas berupa substansi-substansi, dan ia terbagi dalam dua bagian; materialdan spiritual.
Wujud_______________________________ NisbiMutlak________________________________ BebasBergantung(substansi-substansi)(Atribut-atribut, kejadian-kejadian, dan hubungan-hubungan yang bersifatspesial dan temporal)_______________________ Material Spiritual
Namun, yang perlu dicatat, apa yang dianggap wujud nisbidiatas tidak sepenuhnya ‘entitas temporal’ melainkan juga‘entitas permanen’ (al-a`yân al-tsâbitah) sebagaimana wujud mutlak. Dalam pandangan ibn Arabi, semua yang ada dalamsemesta ini, dalam semua keadaannya, telah ada dan persis seperti apa yang ada dalam ilmu Tuhan, sedang ilmu Tuhan sendiri adalah al-a`yân al-tsâbitah. Setiap urusan dan apa yangada dalam semesta tidak pernah keluar dari rencana yang telahditetapkan Tuhan sejak permulaan dalam ilmu-Nya.
Entitas-entitas permanen (al-A`yân al-tsâbitah) diatas tidak pernah meninggalkan kepermanenanya dan ketidak-beruhannya, karena entitas-entitas tersebut selamanya adadalam ilmu Tuhan, ada secara kekal dalam ‘kebesarn-Nya’.Namun, segala yang tampak riil dalam semesta ini juga tidaklain adalah aktualisasi ‘entitas-entitas permanen’. Karena itu,pada satu sisi, entitas-entitas yang ada dalam ilmu Tuhan tidakberbeda dengan entitas-entitas yang tampak dalam semesta,sebab apa yang terjadi dalam semesta adalah persis seperti apayang ada dalam ilmu-Nya. Akan tetapi, pada sisi yang lain,entitas-entitas dalam ilmu Tuhan berbeda dengan entitassemesta, karena yang pertama tidak berwujud konkrit, bebasdari ruang dan waktu, sedang yang keduany berwujud konkrit,dan terikat dengan ruang dan waktu. Yang pertama bersifatpotensial, ‘cetak biru’, sementara yang kedua bersifat aktual,konkrit.
Meski demikian, menurut Kautsar,dalam strukturontologis Ibn Arabi, ‘entitas-entitas permanen’ tidak juga samadan sederajat dengan Dzat Tuhan, tetapi ada ‘dibawahnya’. Tepatnya, ia menempati posisi tengah antara Tuhan dan alam,antara keabsolutan-Nya dan semesta, sehingga ia bersifat ‘aktif’sekaligus ‘pasif’. Aktif dalam hubungannya dengan apa yanglebih rendah darinya, yakni alam semesta, dan aktif dalamhubungannya dengan yang lebih tinggi, yakni diri Tuhan. Tarikmenarik keduanya terjadi dalam apa yang disebut sebagaiproses penampakan diri (tajalli) Tuhan, yang berarti sama dengan proses penciptaan semesta dalam konsep emanasi.Dengan posisi tengah antara al-Haqq (Tuhan) dan al-khalq
(ciptaan), entitas-entitas permanen diatas adalah qadîm sekaligus
hadîts. Qadîm karena ia adalah objek ilmu Tuhan sejakazali, ada dalam dan bersama ilmu Tuhan tanpa ada permulaandalam waktu. Tetapi qadîm
-nya tidak sama dengan qidam Tuhan,karena qadîm-nya entitas permanen berasal dari dan tergantung pada qidam Tuhan.
Sebaliknya, entitas permanen dianggap hadîts karena ia muncul ‘kemudian’, mewujud dan menampakkan diri dalam alam nyata, yang berkaitan denganruang dan waktu. Jalan tengah dan ‘sistem mendua’ (ambiguis) tersebut juga berlaku pada soal perbuatan manusia, bahwa perbuatanmanusia adalah jabariyah sekaligus qadariyah. Yakni, bahwa‘perbuatan manusia diciptakan oleh manusia, tetapi tidak oleh manusia’ atau ‘perbuatan manusia diciptakan bukan oleh Tuhantetapi oleh Tuhan’. Seperti dikatakan Kautsar, ambiguitas dan paradoksal-sikalitas radikal adalah ciri khas sistem berfikir Ibn Arabi.
D. Wahdat al-Wujûd.
Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktuasasi entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu Tuhan, maka bagi Ibn Arabi, seluruh realitas yang ada ini, meski tampak beragam,adalah hanya satu, yakni Tuhan sebagai satu-satunya realitasdan realitas yang sesungguhnya. Apapun yang selain Dia tidakbisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya. Jika demikian, bagaimana kedudukan ontologis
al-khalq (alam ciptaan)? Apakah ia identik dengan Tuhan, atau alam ini tidakmempunyai wujud sama sekali? Kenyataannya alam dan kita ada secara konkrit.Menghadapi persoalan tersebut, seperti sistem berfikirnyayang paradoksal, jawaban Ibn Arabi bersifat ambiguis, bahwaalam adalah Tuhan (al-Haqq) sekaligus bukan Tuhan, ataumenurut istilah Ibn Arabi sendiri, alam adalah ‘Dia dan bukanDia’ (Huwa lâ Huwa).
Bagi Ibn Arabi, alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, dan dengan demikian, segala sesuatu dan segala yang ada didalamnya adalah entifikasi-Nya.Karena itu, Tuhan dan semesta, keduanya tidak bisa difahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksiontologis. Kontradiksi-kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak sebagaimana uraian al-Qur`an, bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi (al-Bathîn) sekaligus Yang Tampak (al-dzahîr), Yang Esa (al-Wahîd)sekaligus Yang Banyak(al-Katsîr),Yang Terdahulu(al-Qadîm)sekaligus Yang Baru(al-Hadîts), Yang Ada(al-Wujûd) sekaligus Yang Tiada (al-`Adam).
Dalam pandangan Ibn Arabi, realitas adalah satu tetapimempunyai sifat yang berbeda; sifat ketuhanan sekaligus sifatkemakhlukan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaliguspermanen, eksistensi sekaligus non-eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segalasesuatu yang ada di alam. Disini Ibn Arabi menggunakan prinsip al-Jam’u bayn al-Addâd (kesatuan diantara pertentangan-pertentangan), atau yang dalam filsafat Barat disebut coincidentia oppositorum.
Untuk menjelaskan hubungan ontologis Tuhan dan semesta tersebut, Ibn Arabi, antara lain, menggunakan simbolcermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. Simbol ini, pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yaknibahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah‘harta simpanan’ (kanz makhfi) yang tidak bisa dikenali kecualilewat alam, sesuai dengan hadis Rasul yang menyatakan hal itu.
Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang Satu dengan yangbanyak dan beragam dalam semesta. Yakni bahwa Tuhan yangbercermin adalah satu, tetapi gambar-Nya amat banyak danberagam sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut. Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia, sama sekali bukanselainnya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.Penggambaran diatas sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybîh dan tanzîh yang digunakan Ibn Arabi.
Dari segi tasybîh, Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lainadalah perwujudan dan aktualiasi sifat-sifat-Nya; dari segitanzîh Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang danwaktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas,Ibn Arabi menyatakan ‘Huwa la Huwa’ (Dia bukan Dia --yang kitabayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu (ittihad) dengan-Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Iahanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan‘bayangan-Nya’, bukan dengan Zat-Nya. Tuhan terlalu tinggiuntuk dicapai. Segala uraian tentang-Nya, adalah kebohongan,pengkerdilan dan pembatasan.
F. Penutup.
Dari segi epistemologis, tampaknya ada pergeseran atauperkembangan pada sistem pemikiran Ibn Arabi. Awalnya cenderung paripathetik, Aristotelian, ketika menyatakan bahwa eksistensi adalah ‘patokan’ segala sesuatu. Kemudian berubah menjadi Platonis, dengan pendapatnya bahwa wujud yang sebenarnya bukan pada sesuatu yang tampak nyata dan konkritini tetapi pada yang transenden dan itu hanya satu, yakni Tuhan. Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis danAristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang transenden dan yang nyata (wahdat al-wujûd), meski dengan pemikiran yang khas Arabian.Pemikiran kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah gagasan orisinal Ibn Arabi. Meski dasar-dasar gagasan inidiambil dari pemikiran ittihâd (penyatuan manusia dengan Tuhan) al-Hallaj (858-913 M), tetapi ia berbeda dengannya. (1)Dalam teori al-Hallaj, persoalan yang ditekankan hanyahubungan antara Tuhan (al-Lâhût) dan manusia(al-Nâsût),bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan sifat ketuhanan hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain; dalam teori Ibn Arabi menjadi lebih luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq)dan semesta (al-Khalq).
(2) Dalam teori al-Hallaj masih ada dualisme manusia dan Tuhan, dalam Ibn Arabi dualisme tersebuttidak ada, kecuali dualisme semu, nisbi; yang ada hanya keesaan.Yakni keesaan dengan dua wajah seperti satu matauang. Dari satu aspek, realitas itu adalah Yang Benar, Pelaku danPencipta; dari aspek lain, ia adalah ciptaan, penerima dan makhluk.
Konsep ini selangkah lebih ‘berani’ dibanding gagasan emanasi al-Farabi atau yang lain, karena dalam emanasi masihada jarak dan perbedaan antara Tuhan dan makhluk, baik darikualitas maupun kuantitas; sementara dalam wahdat al-wujûd
tidak ada lagi jarak diantara keduanya. Namun, itu bukan berarti semesta identik dengan Tuhan. Alam tidak lain hanya perwujudan dari asma-asma-Nya sebagaimana diikrarkan dalam syahadah Lailaha illallah.
Yakni pengakuan bahwa mahluk-Nyabukanlah Tuhan tetapi keberadaan-Nya juga tidak tersamai olehselain-Nya, sehingga tidak satupun wujud yang mandiri danlepas dari-Nya.
(Pemikiran Ibn Arabi, 1165-1240 M)
Dikutip dari Buku
WACANA BARU FILSAFAT ISLAM
Penerbit Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2004Bab II/ Metafisika, hal 138-156.
Penulis: A Khudori Soleh
Kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah salah satu gagasan paling kontroversial dalam metafisika, khususnya metafisika mistik. Pemikiran ini dicetuskan oleh Ibn Arabi.
Akan tetapi, menurut Kautsar Azhari Noer,Ibn Arabi sendiri,sebenarnya, secara formal tidak pernah menggunakan kata-kata wahdah al-wujûd dalam tulisan-tulisannya. Orang pertama yang menggunakan istilah ini, meski tidak sebagai istilah teknis dan independen, adalah Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274 M).Hanya saja, ajaran-ajaran Ibn Arabi tentang realitas bisa memberi pemaknaan kearah itu.
A. Riwayat Hidup.
Ibn Arabi, lengkapnya Muhammad ibn `Ali ibn Muhammadibn al-`Arabi al-Thai al-Tamimi,lahir di Mursia, Spanyol bagiantenggara, 17 Ramadan 560 H/ 28 Juli 1165 M, pada masapemerintahan Muhammad ibn Sa`id ibn Mardanisy.MenurutAffifi,Ibn Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang saleh, dimana ayah dan tiga pamannya --dari jalur ibu-- adalahtokoh sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari
Muhy al-Dîn (Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus),karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidangmistik.
Belum ada seorang tokoh muslim yang mencapai posisisebagaimana kedudukannya. Ibn Arabi meninggal di Damaskus--dan di makamkan disana-- tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/Nopember 1240 M, dalam usia 78 tahun. Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Seville, ketika ayahnyamenjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, al-Qur’an, hadis, fiqh, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilanpendidikan dan kecerdasan otaknya --juga kedudukan ayahnya--mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur Seville dalam usia belasan.
Yang perlu dicatat, bahwa kota Saville saat itu,selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan pusatkegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggaldisana. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kayamempercepat pembentukan Ibn Arabi sebagai tokoh sufis yangterpelajar, apalagi ia telah masuk thariqat sejak usia 20 tahun. Selama menetap di Saville, Ibn Arabi muda seringmelakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untukberguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupunsarjana terkemuka.
Salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126-1198 M), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof Paripatetik ini dalam perdebatan dan tukar fikiran;sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. Juga, menurut Kautsar,menujukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisisme dan filsafat dalam kesadaran metafisis Ibn Arabi. Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan disokong olehpemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn Arabi adalah seorangmistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisamemfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatupandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihatdalam gagasannya tentang wahdat al-wujud.
Selanjutnya, pengembaraannya semakin luas dan mulaikeluar dari semenanjung Iberia menuju Tunis (1193 M) untukberguru pada Ibn Qusi; tokoh sufi yang melakukanpemberontakan pada dinasti Murabbitin.
Kemudian pergi ke Fezdan tinggal disana selama 4 tahun, terus ke Marrakesy, Almaria,Bugia dan kembali ke Tunis (1202 M), setelah pada tahun 1199M, pulang ke Kordova guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd.Selama pengembaraan ini, ia sempat menelorkan beberapakarya tulis, seperti Mawâqi’ al-Nujûm, Insya al-Dawair dan lainnya. Akan tetapi, situasi religio-politis tidak mengizinkan IbnArabi tinggal lama di Spanyol ataupun di Afrika utara, sehinggaia melarikan diri ke Makkah (1201 M), karena --seperti tokoh sufi lainnya-- dituduh menggerakkan makar terhadap pemerintah. Di Makkah sekitar 3 tahun, Ibn Arabi mempergunakan waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Disini ia mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya,
al-Futuhât al-Makkiyah,disamping menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, ia kembali mengembara ke berbagaikota; Madinah, Yerusalem, Baghdad, Masul, Konya, Damascus,Hebron, Kairo dan kembali ke Makkah (1207 M) karena tidakaman di Mesir. Di tengah perjalanan ini, untuk ketiga kalinya ia diangkat sebagai murid Khidir untuk menerima rahasia-rahasia Ilahiyah. Setahun di Makkah, Ibn Arabi berkunjung keAsia kecil melalui Aleppo dan Konya, kemudian ke Armenia danBaghdad, bertemu Syihabuddin Suhrawardi al-Zanzani (w.630/1233 ), seorang tokoh sufi, penulis kitab Awârif al-Ma`ârif.
Akhirnya, tahun 1224 M, Ibn Arabi menetap di Damascus,memenuhi permintaan khalifah al-Malik al-`Adil (1227 M).Kecuali kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi tidak lagi melakukan pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis dan mengajar. Disini ia menyelesaikan kitab monumentalnya,
al-Futûhat al-Makkiyah,dan menulis kitab lain yang terkenal;
Fushûsh al-Hikam,disamping kitab-kitab yang lain. Kedekatannya dengan pemerintah menyebabkan ajarannya mudah dan cepat di terima di masyarakat.
Ibn Arabi termasuk tokoh yang sangat produktif. Menurut Osman Yahia,Ibn Arabi meninggalkan tidak kurang dari 700 karya tulis, tetapi hanya 400 buah yang masih ada; meliputi metafisika, kosmologi, psikologi, tafsir dan hampir setiap cabang keilmuan, yang semua didekati dengan tujuan menjelaskan makna esoterisnya. Karyanya yang terbesar adalah al-Futûhât al-Makiyah, yang terdiri atas 37 jilid, 560 bab, 18.500 halaman dalam edisi Osman Yahio. Yang lain adalah Fushûsh al-Hikam,yang menurutnya diterima dari Rasul saw agar disebarkan kepada manusia. Meski karya ini relatif pendek, tapi paling banyak dikaji dan diberi komentar, karena paling sulit, paling berpengaruh dan paling masyhur. Tidak kurang dari 100 buku ditulis untuk mengomentari Fushûsh al-Hikam tersebut.
B. Antara Mistik dan Filsafat.
Ibn Arabi adalah tokoh mistik yang menuliskanpengalaman ruhaninya lewat cara fikir filsafat. Mistik (sufisme)adalah sebuah pencarian kebenaran lewat jalan experience(penghayatan) dengan atas dasar cinta. Perbedaan sufisme dengan filsafat, menurut Mutahhari,
pertama
, filsafat meminjakkan argumennya pada postulat-postulatnya,sementara mistik mendasarkan argumennya pada visi dan intuisi serta kemungkinan mengemukakan berbagai teorinyasecara teoritis.
Kedua
, dalam mencapai tujuannya, filsafatmenggunakan rasio dan intelektualnya, sementara mistikmenggunakan kalbu dan jiwa suci serta upaya spiritual terusmenerus. Ini di lakukan karena rasio atau intelek dianggapkurang memadai untuk menggapai kebenaran hakiki.
Ketiga,
tujuan dalam filsafat adalah memahami alam semesta. Filosof ingin mendapat gambaran tentang alam semesta yang benar, sempurna, dan menyeluruh.
Di mata filsafat, capaian tertinggi manusia adalah mampu memahami dunia sedemikian rupa sehingga --dalam eksistensi dirinya--eksistensi dunia inipun tegak dan dia sendiri menjadi dunia.Karena itu, filsafat sering didefinisikan sebagai, ‘dunia mental manusia yang menjadi sama dengan dunia yang ada’.
Sementara itu, dalam mistik, persoalan intelek atau rasio tidak begitu menarik. Seorang mistik ingin menjangkau hakekat eksistensi, Allah sendiri. Ia ingin berjumpa dengan hakekat ini dan mengamatinya. Menurut kaum mistik, capaian tertinggi manusia adalah kembali kepada asal-usulnya guna menghindari jarak antara dirinya dengan Tuhan serta menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan untuk berusaha hidup abadi dalam Diri Tuhan.
Dalam pandangan kaum sufisme, termasuk Ibn Arabi,kebenaran ini terdiri atas tiga bagian, indera, rasio dan intuisi.
Ibn Arabi mengakui bahwa indera dan rasio adalah sarana penting untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi, apa yang dicapai indera dan rasio masih sangat terbatas. Indera hanya mampu mengkaji sejauh apa yang tampak, yang kasat mata,yang itu sangat rentan terhadap kesalahan. Begitu pula rasio,meski dengan kekuatannya mampu menjangkau rahasia yang ada dibalik alam indera, ia masih belum --atau tidak-mampu menjangkau yang transenden. Kekuatan indera maupun rasio baru pada tahap mendekati yang hakiki, belum yang mencapai hakiki.
Atau menurut istilah Henry Bersogn, baru tahap‘pengetahuan mengenai’ (knowledge about) belum‘pengetahuan tentang’(knowledge of ). ‘Pengetahuan tentang’adalah pengetahuan diskursif, pengetahuan simbol yang diperoleh lewat perantara; indera atau rasio. ‘Pengetahuan tentang’ adalah pengetahuan langsung, pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung.
Karena itu, bagi Ibn Arabi yang lebih sebagai sufis, tidak ada jalan lain untuk bisa memahami realitas wujud yang hakiki kecuali menyelami langsung lewat penghayatan (experence)dalam mistik. Pengetahuan intuitif yang di peroleh lewat experence inilah pengetahuan yang sebenarnya, pengetahuan yang paling unggul dan pengetahuan yang terpercaya.Untuk mampu menangkap, menyelami serta memahami rahasia dan hakekat wujud diatas, sebelumnya, seseorang sefistik harus membersihkan jiwanya (qalb) untuk kemudian menghadap pada Tuhan dengan penuh cinta dan rindu.
Ibn Arabi menetapkan lima tahapan secara gradual untuk pembersihan hati ini.
(1) Membersihkan jiwa dengan menjauhkan diri dari segala perilaku dosa dan kemaksiatan disamping semakin rajindalam melakukan kebajikan;
(2) Meninggalkan seluruh --pengaruh-- dunia; menghentikan pemandangan terhadap aspekfenomena dunia dan kesadaran terhadap aspek nyata yangmenjadi dasar fenomenanya;
(3) Menjauhkan diri dari atribut-atribut dan kaulitas-kualitas wujud kontingen dengan kesadaranbahwa semua itu adalah kepunyaan Allah semata;
(4)Menghilangkan semua hal yang ‘selain Allah’, tetapi tidak‘menghilangkan’ tindakan itu sendiri. Disini sang mistiskehilangan --atau menghilangkan-- kesadaran dirinya sendiri sebagai orang yang memandang. Tuhan sendirilah yangmemandang sekaligus dipandang;
(5) Melepaskan atribut-atribut Tuhan serta ‘hubungan-hubungan’ dari atribut-atribut tersebut.Memandang Tuhan lebih sebagai essensi daripada ‘SebabPertama’ dari realitas semesta. Jika seseorang telah mencapai derajat ittihad,kesatuan diri dengan Tuhan, ia akan menerima ilmu langsung secara vertikal, dalam bentuk ilham.Pengetahuannya datang langsung lewat pancaran Tuhan (emanasi) yang tampak dalam batinnya. Begitu pula yang terjadi pada Ibn Arabi, sehingga rujukan-rujukan dari tokoh sebelumnya hanya digunakan semata demi untuk menerangkan dan mengibaratkan pengalaman-pengalaman batinnya,bukan rujukan yang sesungguhnya,yang dalam hal ini Ibn Arabi sendiri tidak pernah terpaku pada salah satu tokoh filsafat. Menurut Husain Nasr,pemaparan IbnArab banyak mengikuti Al-Hallaj (858-913 M) dan filsafat IbnSina (980-1037 M). Juga mengikuti teori-teori Noe-Epidoclesyang dikembangkan oleh Ibn Massarah (w. 923 M), Neo-Pithagoras yang di kembangkan kelompok Ikwan as-Shafamaupun Neo-Platonisme. Sedemikian, sehingga menurut Affifi,pemikiran metafisika Ibn Arabi tampak tidak beraturan, tidakkonsisten dan banyak mengambil pikiran-pikiran filsafatsebelumnya.
C. Essensi dan Eksistensi.
Menurut Ibn Arabi, eksistensi adalah ‘wujud’ dari essensi.
Sesuatu bisa dianggap wujud atau ada jika termanifestasikan dalam apa yang disebut ‘tahapan wujud’ (marâthib al-wujûd),yang terdiri atas 4 hal;
(1) eksis dalam wujud sesuatu (wujûd al-syai’ fî ainih),
(2) eksis dalam pikiran atau konsepsi (wujûd al-syai’ fî al-ilm),
(3) eksis dalam ucapan (wujûd al-syai’ fî al-alfazh),
(4) eksis dalam tulisan (wujûd al-syai’ fî ruqûm).
Segala sesuatu dianggap wujud jika ada didalam salah satu empat‘tahapan’ tersebut. Sesuatu yang tidak ada diantaranya tidakbisa dianggap sebagai wujud, dan karena itu tidak bisa dibicarakan.
Selanjutnya, apa yang wujud itu, yang berarti punyaeksistensi, dalam perspektif ontologis Ibn Arabi, terbagi dalamdua bagian; wujud mutlak dan wujud nisbi. Wujud mutlak adalahsuatu sesuatu yang eksis dengan dirinya sendiri dan untukdirinya sendiri, dan itu adalah Tuhan. Wujud nisbi adalah sesuatuyang eksistensinya terjadi oleh dan untuk wujud lain (wujûd bial-ghair). Wujud nisbi ini terbagi dalam dua bagian; wujud bebasdan wujud ‘bergantung’, yang disebut kedua ini berupa atribut-atribut, kejadian-kejadian dan hubungan-hubungan yang bersifatspesial dan temporal. Sementara itu, wujud nisbi bebas berupa substansi-substansi, dan ia terbagi dalam dua bagian; materialdan spiritual.
Wujud_______________________________ NisbiMutlak________________________________ BebasBergantung(substansi-substansi)(Atribut-atribut, kejadian-kejadian, dan hubungan-hubungan yang bersifatspesial dan temporal)_______________________ Material Spiritual
Namun, yang perlu dicatat, apa yang dianggap wujud nisbidiatas tidak sepenuhnya ‘entitas temporal’ melainkan juga‘entitas permanen’ (al-a`yân al-tsâbitah) sebagaimana wujud mutlak. Dalam pandangan ibn Arabi, semua yang ada dalamsemesta ini, dalam semua keadaannya, telah ada dan persis seperti apa yang ada dalam ilmu Tuhan, sedang ilmu Tuhan sendiri adalah al-a`yân al-tsâbitah. Setiap urusan dan apa yangada dalam semesta tidak pernah keluar dari rencana yang telahditetapkan Tuhan sejak permulaan dalam ilmu-Nya.
Entitas-entitas permanen (al-A`yân al-tsâbitah) diatas tidak pernah meninggalkan kepermanenanya dan ketidak-beruhannya, karena entitas-entitas tersebut selamanya adadalam ilmu Tuhan, ada secara kekal dalam ‘kebesarn-Nya’.Namun, segala yang tampak riil dalam semesta ini juga tidaklain adalah aktualisasi ‘entitas-entitas permanen’. Karena itu,pada satu sisi, entitas-entitas yang ada dalam ilmu Tuhan tidakberbeda dengan entitas-entitas yang tampak dalam semesta,sebab apa yang terjadi dalam semesta adalah persis seperti apayang ada dalam ilmu-Nya. Akan tetapi, pada sisi yang lain,entitas-entitas dalam ilmu Tuhan berbeda dengan entitassemesta, karena yang pertama tidak berwujud konkrit, bebasdari ruang dan waktu, sedang yang keduany berwujud konkrit,dan terikat dengan ruang dan waktu. Yang pertama bersifatpotensial, ‘cetak biru’, sementara yang kedua bersifat aktual,konkrit.
Meski demikian, menurut Kautsar,dalam strukturontologis Ibn Arabi, ‘entitas-entitas permanen’ tidak juga samadan sederajat dengan Dzat Tuhan, tetapi ada ‘dibawahnya’. Tepatnya, ia menempati posisi tengah antara Tuhan dan alam,antara keabsolutan-Nya dan semesta, sehingga ia bersifat ‘aktif’sekaligus ‘pasif’. Aktif dalam hubungannya dengan apa yanglebih rendah darinya, yakni alam semesta, dan aktif dalamhubungannya dengan yang lebih tinggi, yakni diri Tuhan. Tarikmenarik keduanya terjadi dalam apa yang disebut sebagaiproses penampakan diri (tajalli) Tuhan, yang berarti sama dengan proses penciptaan semesta dalam konsep emanasi.Dengan posisi tengah antara al-Haqq (Tuhan) dan al-khalq
(ciptaan), entitas-entitas permanen diatas adalah qadîm sekaligus
hadîts. Qadîm karena ia adalah objek ilmu Tuhan sejakazali, ada dalam dan bersama ilmu Tuhan tanpa ada permulaandalam waktu. Tetapi qadîm
-nya tidak sama dengan qidam Tuhan,karena qadîm-nya entitas permanen berasal dari dan tergantung pada qidam Tuhan.
Sebaliknya, entitas permanen dianggap hadîts karena ia muncul ‘kemudian’, mewujud dan menampakkan diri dalam alam nyata, yang berkaitan denganruang dan waktu. Jalan tengah dan ‘sistem mendua’ (ambiguis) tersebut juga berlaku pada soal perbuatan manusia, bahwa perbuatanmanusia adalah jabariyah sekaligus qadariyah. Yakni, bahwa‘perbuatan manusia diciptakan oleh manusia, tetapi tidak oleh manusia’ atau ‘perbuatan manusia diciptakan bukan oleh Tuhantetapi oleh Tuhan’. Seperti dikatakan Kautsar, ambiguitas dan paradoksal-sikalitas radikal adalah ciri khas sistem berfikir Ibn Arabi.
D. Wahdat al-Wujûd.
Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktuasasi entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu Tuhan, maka bagi Ibn Arabi, seluruh realitas yang ada ini, meski tampak beragam,adalah hanya satu, yakni Tuhan sebagai satu-satunya realitasdan realitas yang sesungguhnya. Apapun yang selain Dia tidakbisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya. Jika demikian, bagaimana kedudukan ontologis
al-khalq (alam ciptaan)? Apakah ia identik dengan Tuhan, atau alam ini tidakmempunyai wujud sama sekali? Kenyataannya alam dan kita ada secara konkrit.Menghadapi persoalan tersebut, seperti sistem berfikirnyayang paradoksal, jawaban Ibn Arabi bersifat ambiguis, bahwaalam adalah Tuhan (al-Haqq) sekaligus bukan Tuhan, ataumenurut istilah Ibn Arabi sendiri, alam adalah ‘Dia dan bukanDia’ (Huwa lâ Huwa).
Bagi Ibn Arabi, alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, dan dengan demikian, segala sesuatu dan segala yang ada didalamnya adalah entifikasi-Nya.Karena itu, Tuhan dan semesta, keduanya tidak bisa difahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksiontologis. Kontradiksi-kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak sebagaimana uraian al-Qur`an, bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi (al-Bathîn) sekaligus Yang Tampak (al-dzahîr), Yang Esa (al-Wahîd)sekaligus Yang Banyak(al-Katsîr),Yang Terdahulu(al-Qadîm)sekaligus Yang Baru(al-Hadîts), Yang Ada(al-Wujûd) sekaligus Yang Tiada (al-`Adam).
Dalam pandangan Ibn Arabi, realitas adalah satu tetapimempunyai sifat yang berbeda; sifat ketuhanan sekaligus sifatkemakhlukan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaliguspermanen, eksistensi sekaligus non-eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segalasesuatu yang ada di alam. Disini Ibn Arabi menggunakan prinsip al-Jam’u bayn al-Addâd (kesatuan diantara pertentangan-pertentangan), atau yang dalam filsafat Barat disebut coincidentia oppositorum.
Untuk menjelaskan hubungan ontologis Tuhan dan semesta tersebut, Ibn Arabi, antara lain, menggunakan simbolcermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. Simbol ini, pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yaknibahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah‘harta simpanan’ (kanz makhfi) yang tidak bisa dikenali kecualilewat alam, sesuai dengan hadis Rasul yang menyatakan hal itu.
Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang Satu dengan yangbanyak dan beragam dalam semesta. Yakni bahwa Tuhan yangbercermin adalah satu, tetapi gambar-Nya amat banyak danberagam sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut. Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia, sama sekali bukanselainnya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.Penggambaran diatas sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybîh dan tanzîh yang digunakan Ibn Arabi.
Dari segi tasybîh, Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lainadalah perwujudan dan aktualiasi sifat-sifat-Nya; dari segitanzîh Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang danwaktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas,Ibn Arabi menyatakan ‘Huwa la Huwa’ (Dia bukan Dia --yang kitabayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu (ittihad) dengan-Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Iahanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan‘bayangan-Nya’, bukan dengan Zat-Nya. Tuhan terlalu tinggiuntuk dicapai. Segala uraian tentang-Nya, adalah kebohongan,pengkerdilan dan pembatasan.
F. Penutup.
Dari segi epistemologis, tampaknya ada pergeseran atauperkembangan pada sistem pemikiran Ibn Arabi. Awalnya cenderung paripathetik, Aristotelian, ketika menyatakan bahwa eksistensi adalah ‘patokan’ segala sesuatu. Kemudian berubah menjadi Platonis, dengan pendapatnya bahwa wujud yang sebenarnya bukan pada sesuatu yang tampak nyata dan konkritini tetapi pada yang transenden dan itu hanya satu, yakni Tuhan. Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis danAristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang transenden dan yang nyata (wahdat al-wujûd), meski dengan pemikiran yang khas Arabian.Pemikiran kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah gagasan orisinal Ibn Arabi. Meski dasar-dasar gagasan inidiambil dari pemikiran ittihâd (penyatuan manusia dengan Tuhan) al-Hallaj (858-913 M), tetapi ia berbeda dengannya. (1)Dalam teori al-Hallaj, persoalan yang ditekankan hanyahubungan antara Tuhan (al-Lâhût) dan manusia(al-Nâsût),bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan sifat ketuhanan hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain; dalam teori Ibn Arabi menjadi lebih luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq)dan semesta (al-Khalq).
(2) Dalam teori al-Hallaj masih ada dualisme manusia dan Tuhan, dalam Ibn Arabi dualisme tersebuttidak ada, kecuali dualisme semu, nisbi; yang ada hanya keesaan.Yakni keesaan dengan dua wajah seperti satu matauang. Dari satu aspek, realitas itu adalah Yang Benar, Pelaku danPencipta; dari aspek lain, ia adalah ciptaan, penerima dan makhluk.
Konsep ini selangkah lebih ‘berani’ dibanding gagasan emanasi al-Farabi atau yang lain, karena dalam emanasi masihada jarak dan perbedaan antara Tuhan dan makhluk, baik darikualitas maupun kuantitas; sementara dalam wahdat al-wujûd
tidak ada lagi jarak diantara keduanya. Namun, itu bukan berarti semesta identik dengan Tuhan. Alam tidak lain hanya perwujudan dari asma-asma-Nya sebagaimana diikrarkan dalam syahadah Lailaha illallah.
Yakni pengakuan bahwa mahluk-Nyabukanlah Tuhan tetapi keberadaan-Nya juga tidak tersamai olehselain-Nya, sehingga tidak satupun wujud yang mandiri danlepas dari-Nya.
Langganan:
Postingan (Atom)